Rifki tinggal bersama ibunya, Parsinem (42) dan neneknya Kaseni (85), di RT 6 RW 1 Desa Tulung, Kecamatan Saradan, Madiun. Sedangkan kakaknya, Rehan Eka Rivaldi (13), tinggal di pondok pesantren di Ponorogo.
Selama ini Parsinem mengaku kondisi fisik anaknya sangat lemah. Sebulan sekali, anaknya sering diare, panas, batuk dan pilek. Saat itu, dia harus membawanya ke dokter spesialis anak.
"Dokter di puskesmas tidak berani menangani karena jantung bocor. Padahal, untuk sekali periksa ke dokter anak, harus mengeluarkan Rp 150 hingga Rp 250 ribu. Ini kemarin juga baru pulang opname di RS Ponorogo. Nanti kalau sudah sehat saya bawa ke Surabaya alhamdulilah dapat bantuan dari orang-orang yang kasihan," kata Parsinem sambil menggendong Ahmad Rifki saat ditemui detikcom di rumahnya, Selasa (7/11/2017).
Saat detikcom berkunjung, Parsinem meminumkan susu kepada Rifki. Namun Rifki selalu tersendak dan terbatuk hingga membuat miris melihatnya. "Kalau minum susu selalu tersendak batuk kadang ndak tega saya. Saya sering bawa ke dokter spesialis anak," tambahnya.
Para dokter pun menyarankan dia membawa Rifki ke RSU dr Soeotomo Surabaya. Menurutnya berobat ke RSU dr Soetomo memang tidak ada biaya. Karena dirinya sudah memiliki kartu BPJS mandiri. Namun dirinya terkendala biaya transportasi, penginapan dan kendaraan untuk membawanya ke Surabaya. Padahal, ibu dua anak ini mengaku tim dokter menyarankan setiap 3 bulan sekali Rifki dibawa ke rumah sakit.
Baca Juga: Ini Rifki, Balita dengan Kelainan Genetik, Jantung Bocor dan Hernia
"Seharusnya Rifki diperiksakan secara rutin di RSU dr Soetomo Surabaya. Namun, karena tak memiliki biaya untuk pergi ke Surabaya, ya gimana lagi. Hidup di kota besar mahal. Butuh kos, makan sekali kontrol biasanya 5 sampai 10 hari. Makanya tidak saya bawa ke sana," tambahnya.
Sebagai ibu rumah tangga yang tidak bekerja, ia mengaku mengalami kesulitan ekonomi. Suaminya yang bekerja sebagai buruh di kebun kelapa sawit Kalimantan, hanya mengirim uang Rp 1 juta per bulan.
Uang bulanan itu tak cukup habis untuk membeli susu bagi Rifki dan kebutuhan sekolah anak pertamanya. Apalagi, dia juga harus membayar iuran BPJS sebesar Rp 102 ribu untuk empat orang. Sebelum anak keduanya lahir, dia bekerja sebagai tukang jahit. Penghasilannya dari bekerja menjadi tukang jahit bisa menambah pendapatan ekonomi keluarganya.
Namun, kini dia tak lagi dapat bekerja karena harus merawat Rifki setiap hari. "Dulu saya kerja menjahit, sejak ini lahir tidak bisa kerja lagi, ditinggal sebentar saja menangis," tambahnya.
Meski demikian, ia mengaku menerima kondisi anaknya dengan iklhas dan menyayanginya. Parsinem berharap pemerintah Kabupaten Madiun dapat memberikan jaminan kesehatan gratis.
"Saya sudah ikhlas, binggung harus bagaimana lagi. Nggak apa-apa, anak seperti apa saya terima. Tapi saya ndak pernah dapat bantuan. BPJS pun saya bayar mandiri," ucapnya dengan penuh harap bantuan.
Istri Kamini berharap kondisi kesehatan anaknya bisa semakin membaik dan bisa bermain seperti layaknya anak seusianya, agar dirinya bisa kembali bekerja dan mendapat penghasilan. Dia juga berharap penghasilan suami meningkat agar bisa membawa kembali Rifki ke RSU dr Soetomo Surabaya. (fat/fat)