Bahkan, varietas cabai baru ini jadi ikon di desanya. Petani lulusan MTs ini melakukan percobaan tahun 2002 dan menyilangkan empat jenis cabai berbeda. Dibantu istrinya, Sujimah (35), mereka menyilangkan dengan pola acak ditanam pada satu areal sawah.
"Saya menggesek-gesekkan bunga cabai kemudian saya bungkus plastik," tutur Sundari yang menyebut bunga cabai yang digesek rontok berarti gagal, kepada detikcom, Selasa (7/11/2017).
Upayanya mengawinkan cabai secara sederhana itu semula kurang berhasil. Ada yang berbuah hingga merah, namun ada yang rontok sebelum dipetik. Dan sekitar tahun 2003, cabai yang ditanam dan disilang tumbuh jenis cabai baru. Pohonnya tidak terlalu tinggi, namun buahnya lebih lebat. Semua buah dari satu batang tanaman itu dijadikan benih untuk ditanam pada musim berikutnya.
Sejak saat itu, Sundari memurnikan benih cabai selama 4 tahun berturut-turut. Cabai itu dirasa pas dengan kondisi dan karakter tanah Desa Lembor yang kering.
"Saya hanya petani biasa, saya pun menyilangkan cabai berdasarkan pengalaman saja. Tidak ada latar belakang ilmu khusus tentang pertanian karena saya hanya lulusan madrasah," tambah Sundari.
Cabai Sundari, varietas baru yang tahan lama/ Foto: Eko Sudjarwo |
Melihat keberhasilan Sundari, petani lainnya yang ada di Desa Lembor pun akhirnya mencoba bibit hasil penyilangan Sundari. Cabai rawit varietas baru itu punya keunggulan jika dibandingkan dengan jenis cabai lokal yang ada.
Keunggulan utamanya lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit dan tahan terhadap kondisi kering. Masa panen lebih cepat, yakni 90 hari, dari umumnya cabai rawit 100 hari lebih. Selain itu buahnya lebih lebat per batang rata-rata menghasilkan 0,5 kg.
Masa berbuahnya lebih panjang dan buahnya tidak mengecil. Dan panen cabai hasil rekayasa Sundari bisa 3 kali masa panen, masing-masing 7 kali petik. "Saya tertarik merekayasa benih cabai sendiri karena benih mahal. Pada 2002 benih dalam kemasan plastik ukuran 10 gram saja harganya mencapai Rp 20 ribu," ujarnya.
Masyarakat Desa Lembor pun kemudian ramai-ramai memilih Cabai Sundari. Oleh warga, awalnya tidak ada yang tahu jenis cabai baru dari Sundari tersebut, mereka hanya tahu dan menjawab "Cabai teko Sundari (cabai dari Sundari, red)".
Hingga akhirnya warga dan petani menyebut benih cabai karya Sundari ini dengan sebutan Cabai Sundari. Kini, pesanan benih cabai Sundari juga telah menjadi salah satu kebanggaan desanya juga berasal dari kabupaten lain, termasuk Blitar, Bojonegoro, dan Tuban.
Setiap hari pemesanan benih bisa mencapai 10-20 kg dengan harga per kg Rp 20 ribu. Tapi untuk warga desanya, Sundari mengaku kadang ada yang sekedar diberikan saja tanpa membayar.
"Saya bangga kalau teman-teman petani makmur. Kalau bisa petani sejahtera secara merata," terang Sundari yang juga menjelaskan cabai Sundari petani cukup menggunakan pupuk organik yang dibuat sendiri dan tidak perlu menyemprotkan pestisida.
Sundari sendiri saat ini mengelola 1,25 hektar lahan. 0,25 Hektar ditanami cabai, padi dan jagung masing-masing seluas 0,5 hektar. Jika panen dia bisa mendapat 3 ton gabah kering panen dan 3 ton jagung.
Adapun cabainya bisa panen 3 putaran dalam satu kali musim tanam. Tiap putaran 7 kali petik. Satu kali petiknya 150 kg untuk luas 0,25 hektar. Sundari juga tidak pelit berbagi ilmu, bahkan Sundari kini dipercaya warga sebagai penjaga gawang untuk pemurnian dan pemuliaan varietas Sundari. (fat/fat)












































Cabai Sundari, varietas baru yang tahan lama/ Foto: Eko Sudjarwo