Pasangan muda Desa Kemiren, Haidy Bung Slamet (35) dan Milla (21) melangsungkan pernikahan. Mereka diarak keliling kampung dengan mengendarai kereta, Selasa (19/9/2017) lalu .
Mereka berangkat dari rumah kerabat tempat mereka berdandan menuju pelaminan di rumah pengantin pria dan menempuh jarak sekitar 2 kilometer. Arak-arakan pengantin tersebut melibatkan banyak orang.
Di bagian depan Barong khas Kemiren, sebagai pembuka jalan dalam arak-arakan itu. Ada juga rekan-rekan pengantin yang membawa umbul-umbul dari dedaunan yang dihiasi dengan kain warna-warni serta kue-kue tradisional yang digantung.
Di belakangnya terdapat dua kereta kuda yang membawa dayang-dayang, yakni anak-anak kecil yang berhias layaknya bidadari.
Selanjutnya, rombongan keluarga yang membawa perlengkapan rumah tangga, alat-alat dapur, polo gemantung (buah-buahan), bantal kloso (bantal dan tikar), kendi suwung, petek ngerem (ayam petelur) dan picis mupu (uang) turut mengikuti prosesi ini.
Barulah raja dan ratu sehari, Haidy dan Milla, yang berdiri gagah dan anggun diatas kereta yang didorong oleh para remaja Kemiren.
Arak-arakan tersebut ditutup dengan rombongan musik tradisional yang diikuti puluhan kerabat serta tetangga kedua mempelai.
Yang menjadi heboh, hampir semua warga yang rumahnya dilewati iring-iringan pengantin akan ikut serta ke dalam rombongan. Mereka berbaur menjadi satu dengan kerabat, handai taulan, dari kedua mempelai pengantin.
![]() |
Bahkan, di setiap perempatan desa, rombongan paling depan berhenti dan bersorak sorai. "Surak... surak... surak... hoooooiiii....," teriak mereka diikuti oleh para warga.
"Arak-arakan pengantin Using ini dilakukan secara bersama oleh masyarakat. Mereka menjadi saksi jika perkawinan antara dua pasangan ini sudah digelar. Makanya masyarakat langsung turun langsung meramaikan arak-arakan. Setiap rumah pasti keluar untuk ikut arak-arakan," ujar Aekanu Haryono, salah satu budayawan Using Banyuwangi kepada detikcom, JUmat (22/9/2017).
Setelah sampai di rumah pengantin, mereka dipertemukan kembali dengan upacara temu manten. Namun sebelumnya, digelar acara ritual 'Ngosek Ponjen' yang dilakukan oleh keluarga kedua mempelai.
Ritual ini sebagai bentuk prosesi seremoni mengantarkan anak kemunjilan (anak terakhir) ke dalam kehidupan berumah tangga dengan kegiatan yakni ngosek ponjen (mengusap sari) sari dalam bahasa Osing adalah uang) di dalam tampah yang dilakukan oleh seluruh ahli waris anak kemunjilan.
"Kebiasaan di sini pengantin dipertemukan di pelaminan saat 'samar wulu' menjelang magrib dan lanjut dengan resepsi. Karena masyarakat Using kebanyakan adalah masyarakat agraris. Sehingga mereka melakukan resepsi pernikahan setelah pulang dari sawah," tambah Aekanu.
Untuk hiburan, mempelai mengundang kesenian-kesenian khas Banyuwangi seperti Kuntulan, Gandrung dan masih banyak lagi. Masyarakat pun ikut serta mengucapkan selamat kepada kedua mempelai, setelah menyantap makanan yang disajikan di meja-meja panjang di tempat resepsi. (bdh/bdh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini