Jika dilihat, sepanjang mata memandang, hampir semua warga di kompleks ini membuat kue. Maka tak heran jika komplek ini disebut kampung kue. Detikcom mulai menelusuri sepanjang lorong kampung kue ini. Di sepanjang lorong terlihat para ibu-ibu sedang menggoreng dan membungkus kue buatannya.
Di sudut lorong lainnya, ada para ibu yang mulai menata meja sebagai tempat mereka menjajakan kue. Sebagian juga terlihat ibu-ibu menjinjing keranjang berisi kue dan mulai menata di atas meja, sebuah lapak kecil sumber rezeki mereka.
Kue yang dijual di 'Kampung Kue' ini beraneka macam. Sebagian besar merupakan kue tradisional seperti putu ayu, risoles, lemper dan pisang landak. Semuanya dipatok dengan harga Rp 1.000.
"Ini bangun jam satu tadi untuk buat adonan, sekarang baru digoreng," kata Ana (36), salah seorang warga yang membuat tahu fantasi dan martabak telur saat berbincang dengan detikcom, Selasa (12/9/2017).
![]() |
Sudah empat tahun Ana bekerja membuat dua jenis kue ini. Dalam sehari, Ana mengaku bisa membuat hingga 500 kue. Jumlah tersebut bisa bertambah jika ada pesanan dari konsumen langganannya. Kue buatan Ana ini dijual dengan harga Rp 1.000 per bungkus.
Dia bercerita, sebelum berjualan kue, ia sempat bekerja di sebuah pabrik tekstil. Tapi empat tahun yang lalu di PHK. Dari peristiwa itu, Ana baru memutuskan untuk membuat kue.
Dalam kesehariannya membuat kue, Ana dibantu sang suami yang baru setahun lalu berhenti bekerja di pabrik. Mereka saling bekerjasama dalam membuat adonan dan mengemas kue-kue jajanannya.
"Saya biasa membuat adonan dan menggoreng, bapak bagian membungkus kalau gorengannya sudah dingin," ujar ibu dua anak ini.
Hal berbeda cerita Purwanto dan Ny Sarmini. Keduanya membuat jajanan pasar seperti onde-onde dan pukis. Onde-onde yang dihasilkan ada dua jenis, yakni dari ketan hitam dan ketan putih.
![]() |
Pasutri ini tidak ikut menjajakan kue-kue tersebut di gang, lantaran Purwanto dan Sarmini telah memiliki pelanggan tetap.
"Biasanya pelanggan-pelanggan saya yang langsung ambil kesini. Ini sebentar lagi paling mereka sudah datang," ujar Sarmini.
Purwanto dan Sarmini memang telah lama menjual kue, bahkan sebelum kampung kue berdiri. Awalnya mereka berjualan dengan keliling kampung dan mengantar pesanan kesana kemari. Seiring berjalannya waktu, kue buatannya memiliki rasa khas di mata pelanggan. Maka saat ini para pelangganlah yang memburu kue buatan mereka.
Dalam sehari, Purwanto dan Sarmini bisa menjual hingga 1.000 bungkus kue. Para pelanggan pun berasal dari berbagai kalangan.
"Dulu saya masih keliling, nganter kesana-kemari, sekarang sudah banyak yang tahu, jadi mereka yang datang mengambil. Mulai dari penjual di pinggir jalan, hingga orang-orang dinas," tutur perempuan 45 tahun ini.
![]() |
Sebelum berjualan kue, Sarmini awalnya bekerja di pabrik rokok. Namun, karena alasan kesehatan, ia memilih berhenti dan memulai wirausaha mandiri dengan membuat kue. Jerih payahnya semakin membuahkan hasil sejak kampung kue diberikan izin usaha. Apalagi ada banyak pelatihan yang membuatnya semakin terampil.
"Mulai banyak yang kenal, lalu kita ikut pelatihan-pelatihan bagaimana cara memasarkan produk yang baik. Kadang-kadang juga mahasiswa datang kesini kasih penyuluhan, bikin skripsi di sini," cerita Sarmini.
Dari pantauan detikcom, waktu menunjukkan 03.30 WIB. Gang Rungkut Lor II mulai banyak dikerumuni warga. Sebagian besar dari mereka adalah para tengkulak. Percakapan dan transaksi mulai terjadi. Kesibukan jual beli terasa kental saat melihat beberapa pelanggan keluar masuk rumah para pembuat kue, dengan membawa keranjang-keranjang berisi ratusan kue untuk dibawa pulang.
Misran (65), salah satu pelanggan mengaku telah lama membeli kue dari kampung kue ini. Dalam sehari, ia bisa menjual ratusan kue 'made in' kampung kue.
"Sudah sejak kampung kue berdiri saya mulai ngambil di sini. Kuenya enak-enak," ungkapnya. Perhari, ia bisa mengambil sampai 300 biji kue. "Hampir semua jenis kue saya ambil, soalnya banyak yang pesen," ujar pria asal Gunung Anyar, Surabaya ini.
![]() |
Sementara itu Choirul Mahpuduah, penggagas kampung kue ini menjelaskan, sebagian besar warga sebelumnya adalah buruh pabrik dan berasal dari luar Surabaya. Saat ada krisis tahun 1998, banyak dari mereka yang di PHK. Wanita yang sebelumnya merupakan aktivis buruh ini akhirnya berniat mengajak mereka untuk kembali aktif mencari rejeki yang halal.
"Dari pada pagi-pagi sudah ngerumpi, nyari kutu lalu siangnya didatangi rentenir, lebih baik kita usaha yang halal," ujarnya.
Aktivitas jual beli mulai berangsur berhenti sekitar pukul 05.00 WIB. Kue-kue buatan para ibu sudah laku terjual. Mereka pun terlihat mulai berkemas. Aktivitas warga mulai beralih. Ada yang bersiap mengantarkan anak ke sekolah, hingga membersihkan pekarangan rumah. Kampung kue buka setiap Senin-Sabtu.
"Biasanya hari Minggu libur, kecuali kalau ada pesanan," pungkas Choirul. (fat/fat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini