Salah satunya, pengusaha es lilin di Jalan Irian Kota Blitar, Edi Santoso. Ia terpaksa mengurangi produksi, karena langka dan mahalnya garam di Kota Blitar. Laki-laki 48 tahun ini biasanya membutuhkan satu kwintal garam setiap minggu atau empat kwintal setiap bulannya. Namun karena harga garam di luar kewajaran, kini ia hanya bertahan menggunakan garam yang ditampungnya.
"Dulu harganya garam untuk 50 kg Rp 70-80 ribu, kalau sekarang harga garam grasak Rp 270 ribu per kg," kata Edi ditemui di tempat produksi miliknya, Kamis (10/8/2017).
Karena tidak lagi mendapat pasokan garam seperti sebelumnya, membuat produksi es lilinnya menurun. Bila biasanya mampu memproduksi es lilin 2.500 batang setiap hari, kini tinggal 1.600 batang per harinya. "Kalau dulu masak bisa empat kali, kalau sekarang masak hanya tiga kali," keluhnya.
Ia mengaku, proses pembuatan es lilin ini membutuhkan waktu yang lebih lama, jika dibandingkan dengan adanya garam yang normal seperti sebelumnya. Bila menggunakan garam seperti sebelumnya, maka es lilin matang dalam waktu 25 menit. Saat ini, proses matangnya hingga 50 menit.
Berkurangnya garam ini juga berdampak pada ketahanan es lilin saat berada di udara luar. Bila biasanya mampu bertahan selama 10 menit, kini hanya mampu bertahan tidak lebih dari 3 menit.
Es lilin berlogo burung Kakaktua yang sudah produksi sejak 1961 inipun sempat ingin menaikkan harganya. Namun banyak pelanggan yang menolak, sehingga ia tetap bertahan dengan harga Rp 1.800 per batang.
"Kalau dinaikkan pelanggan menolak, kalau tidak dinaikkan merugi. Solusinya mengurangi produksi," ungkap Edi yang merupakan generasi ke tiga dari usaha es lilin murni ini.
Dia pun berharap kepada pemerintah agar harga garam seperti dulu. "Harapan saya pada pemerintah, agar garam seperti dulu, murah dan banyak barang, tidak seperti sekarang ini," ungkapnya penuh harap. (fat/fat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini