"Anggarannya Rp 175 juta itu, itupun tidak hanya untuk kekeringan saja, tapi juga untuk penyediaan air bersih ketika terjadi banjir maupun tanah logsor," kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Trenggalek, Joko Rusianto, Rabu (26/7/2017).
Dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, penanganan bencana kekeringan rata-rata membutuhkan anggaran lebih dari Rp 800 juta, mengingat jumlah desa yang masuk peta rawan kekeringan cukup banyak. Dari 14 kecamatan di Trenggalek hanya Kecamatan Gandusari yang tidak masuk peta rawan kekeringan.
"Anggaran itu digunakan untuk membeli air ke PDAM serta transportasi pengiriman ke desa-desa yang mengalami krisis air. Sehingga kalau hanya Rp175 juta pasti kurang," ujarnya.
Meski demikian, Joko mengaku tidak khawatir, karena penanganan bencana kekeringan tidak hanya menjadi tanggungjawab daerah, namun juga akan didukung oleh anggaran dari BPBD Provinsi Jawa Timur maupun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Menurut Joko, pihaknya telah mengirim data-data potensi bencana ke BPBD Provinsi Jatim maupun BNPB guna mengantisipasi datangnya musim kekeringan di wilayah Trenggalek.
"Besok Kamis (27/7) akan ada rapat dengan BPBD provinsi, terkait sarana dan prasarana kekeringan untuk peninjauan bencana tahun ini," imbuhnya.
Kepala BPBD Trenggalek ini menambahkan, bila anggaran dari BPBD provinsi dan BNPB turun, pihaknya mengaku akan memprioritaskan dana tersebut, sehingga bisa menghemat anggaran dari APBD kabupaten.
Sesuai dengan data di BPBD Trenggalek, jumlah daerah yang masuk peta rawan bencana kekeringan mencapai 75 desa yang tersebar di 13 kecamatan. Namun hingga kini baru satu desa yang mengalami krisis air, yakni Dusun Selorejo, Desa Mlinjon, Kecamatan Suruh.
"Untuk penanganan bencana kekeringan kami sudah siap, ada delapan armada tangki yang disiapkan untuk menyuplai air bersih," imbuhnya. (fat/fat)











































