Suasana perkampungan pada lebaran ke-8 justru tampak lebih ramai dibanding 1 Syawal. Hiruk pikuk dan lalu lalang kendaraan memadati seluruh jalan di wilayah paling timur di Kabupaten Trenggalek ini.
"Warga saling berkunjung ke rumah sanak-saudara serta tetangga untuk bersilaturrahmi dan saling bermaaf-maafan. Di setiap rumah di sediakan hidangan ketupat dan aneka lauk-pauk secara gratis," kata Pengasuh Pondok Pesantren Babul Ulum, Durenan, KH Abdul Fattah Mu'in, Minggu (2/7/2017).
Menurutnya, warga dari berbagai penjuru daerah berkumpul di wilayah Durenan mulai pagi hingga malam hari, selama enam hari. Sebelumnya, sebagian warga lokal tidak menggelar open house seperti lebaran pada umumnya. Tidak hanya warga Trenggalek, namun masyarakat dari berbagai kota di sekitarnya juga memilih berlebaran ke Durenan pada saat kupatan.
"Karena kebiasaan di sini, khususnya di lingkungan pondok, lebaran ke-2 hingga ke-7 itu puasa sunnah Syawal, kemudian perayaannya di lebaran ke-8," imbuhnya.
Fattah Mu'in menjelaskan, munculnya tradisi kupatan di lingkunganya dimulai sejak 200 tahun silam, saat pesantrennya dipimpin oleh Kyai Abdul Masyir atau yang biasa disebut Mbah Mesir.
"Dulu, Mbah Mesir itu setelah Salat Id pada tanggal 1 Syawal, beliau diundang untuk mendampingi Bupati di pendapa hingga lebaran ke tujuh," katanya.
Selama mendampingi bupati dan menjalankan ibadan sunnah itulah, Mbah Mesir tidak melakukan "open house". Kegiatan tersebut baru dilaksanakan pada lebaran ke-8. Saat itulah, warga sekitar dan para santrinya banyak yang berdatangan untuk bersilaturrahmi. Tradisi tersebut akhirnya terus berkembang dan terjaga hingga sekarang.
"Dulu cuma satu keluarga, sekarang warga banyak yang mengikuti dan kalau di sini ini warga ramai karena murni untuk bersilaturrahmi, bukan untuk perayaan seperti di daerah lain," ujarnya.
Ia meyakini tradisi kupatan di Durenan tidak pernah luntur oleh hingar bingar perkembangan zaman, meski tanpa disuguhi dengan aneka hiburan maupun pertunjukan.
Sementara salah seorang pengunjung asal Kediri, Adi Purnomo mengaku rutin berlebaran kelupat di Trenggalek dengan bersepeda bersama sejumlah rekannya.
"Karena di sini ini unik, kesakralannya kemudian keramahtamahan warga. Siapapun boleh datang, kenal maupun tidak kenal dipersilahkn untuk bertamu dan disediakan ketupat," ujarnya. (fat/fat)











































