Tak Mengeluh, Ini Perjuangan Nenek Imah Tunadaksa di Situbondo

Tak Mengeluh, Ini Perjuangan Nenek Imah Tunadaksa di Situbondo

Ghazali Dasuqi - detikNews
Jumat, 19 Mei 2017 13:21 WIB
Rumah lama Nenek Imah/Foto: Ghazali Dasuqi
Situbondo - Sosok nenek Imah (63), wanita tunadaksa di Situbondo, dikenal wanita tangguh. Hidup miskin dengan keterbatasan fisik tanpa dua kaki, nenek asal Desa Peleyan, Kecamatan Kapongan, ini mampu hidup mandiri.

Meski kondisinya membuat banyak orang yang melihatnya menjadi iba, nenek Imah tidak pernah meminta-minta. Wanita yang tidak pernah menikah ini mutlak menggantungkan hidupnya pada usaha berjualan camilan di sekitar sekolah tak jauh dari rumahnya.

"Saya lebih baik jualan di sekolah, dari pada meminta-minta. Meski hasilnya tidak seberapa, tapi saya selalu bersyukur karena masih bisa untuk menyambung hidup," kata nenek Imah di rumahnya, Jumat (19/5/2017).

Sebelum rumah barunya selesai dibangun, nenek Imah hidup sendiri di gubuk reyot yang hanya berukuran 2,5 x 3 meter. Setiap hujan deras, sang nenek terpaksa harus mengungsi ke rumah saudaranya, karena bagian atapnya selalu bocor. Di gubuk reyot itulah, nenek Imah bertahan hidup sambil menggantungkan hidupnya pada jajan camilan, yang setiap pagi dijajakan pada anak-anak sekolah dasar.
Rumah baru Nenek Imah tunadaksaRumah baru Nenek Imah tunadaksa Foto: Ghazali Dasuqi

Setiap pagi, dia pergi ke sebuah SDN yang berjarak sekitar 300 meter dari rumahnya. Sambil menyunggih barang dagangannya, nenek Imah melintasi jalanan setapak menuju dekat sekolah. Dia harus berjalan menggunakan dua tangannya. Tak jarang, tangan nenek Imah harus belepotan dengan lumpur, saat jalan setapak yang dilintasi kondisinya becek setelah diguyur hujan. Namun, ketegaran dan kesabara yang dimiliki mampu membuatnya bertahan.

"Karena kondisinya seperti itu, nenek Imah jadi tidak pernah menikah dan punya anak. Dia juga hampir tidak pernah mendapatkan bantuan apapun untuk pengentasan kemiskinan, kecuali beras untuk warga miskin (raskin). Karena itulah, sosok nenek Imah ini benar-benar menjadi inspirasi bagi kami," papar Ketua Rumah Satu, Zaini Zain.

Padahal, omzet penjualan yang didapatkan nenek Imah tiap harinya tidak lebih dari Rp 40 ribu. Dari angka sebesar itu, nenek Imah hanya mendapatkan keuntungan sekitar 40 persen. Selebihnya yang 60 persen adalah untuk si pemilik modal. Dari penghasilan itulah, nenek Imah terus berusaha menyambung hidupnya.

"Saya tidak punya modal sendiri. Dagangan saya itu istilahnya 'nyerah ngalak', artinya bayar belakangan setelah laku. Setelah itu baru bisa ambil barang lagi," tutur nenek Imah.
Tak Mengeluh, Ini Perjuangan Nenek Imah Tunadaksa di SitubondoNenek Imah berjualan camilan/Foto: Ghazali Dasuqi

Wakil Bupati Situbondo, H Yoyok Mulyadi, mengaku sangat prihatin sekaligus angkat topi terhadap kemandirian nenek Imah. Saking prihatinya, Wabup Yoyok berencana untuk kembali bersilaturahmi ke kediaman nenek Imah yang baru, saat lebaran nanti. Tak lupa, mantan Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Situbondo itu juga merogoh koceknya untuk keperluan perabot rumah baru nenek Imah.

"Semua bantuan ini adalah berkat keteguhan hati nenek Imah sendiri. Bisa jadi ada doa-doa beliau yang diterima oleh Allah. Yang jelas, doa orang seperti nenek Imah ini insyaallah cukup makbul," tandas Wabup Yoyok.

Sebelumnya, Nenek Imah (63), nenek tuna daksa di Situbondo bisa tersenyum gembira. Derita hidup yang dijalani selama ini akhirnya sedikit terobati. Gubuk reyot yang ditinggalinya selama puluhan tahun di Desa Peleyan, Kecamatan Kapongan, selesai 'disulap' menjadi Rumah Tinggal Layak Huni (RTLH) istimewa. RTLH si nenek Imah ini merupakan hasil swadaya Forum Silaturahmi Jurnalis Harian Situbondo (Rumah Satu/R-1). (fat/fat)
Berita Terkait