"Tim Satgas Pangan Polrestabes Surabaya menemukan fakta ini di lapangan. Ini masih awal," ujar Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya AKBP Shinto Silitonga kepada wartawan di rumah yang digunakan memproduksi abon tersebut di Jalan Soponyono 6, Tenggilis, Surabaya, Selasa (16/5/2017).
Shinto mengatakan, berdasarkan temuan di lapangan, abon oplosan ini dibuat dengan mencampurkan daging sapi dan daging ayam dengan perbandingan 40:60. Tujuannya tentu saja untuk meminimalisir biaya produksi agar margin keuntungan yang didapat lebih besar.
"Pada labelnya ditulis dari daging sapi. Tapi kenyatannya dioplos dengan perbandingan 40 % daging sapi dan 60 % daging ayam. Tujuannya tentu saja untuk meminimalisir cost of production untuk keuntungan lebih," kata Shinto.
![]() |
Proses produksi abon diawali dengan mencampur daging sapi dan ayam, kemudian campuran daging itu dicampur dengan bumbu dan dimasak dalam tungku. Keluar dari tungku, abon dikeringkan, yang setelah kering dibungkus ke dalam plastik kemasan dengan label berat netto 100 gram. Untuk selanjutnya 10 abon dikemas ke dalam plastik transparan. 10 plastik transparan itu kemudian dikemas ke dalam kardus dan siap dikirimkan.
Ada lima merek abon oplosan tersebut yakni Kelinci, Gudang Sapi, Kepala Sapi, Sriti, dan Kupu. Dalam sehari, 7.500 bungkus abon mampu dihasilkan. Abon-abon tersebut kemudian dikirim ke pemesannya.
"Untuk info awal, abon ini dibuat untuk memenuhi pesanan. Ordernya dari luar Surabaya, infonya NTT," lanjut Shinto.
![]() |
"Saya ngisinya 85 gram, perintah bosnya seperti itu," kata Sudarmiatun saat memeragakan cara dia memasukkan dan menimbang abon ke dalam bungkusnya.
Dalam kasus ini, Shinto juga menemukan fakta bahwa limbah produksi abon dibuang sembarangan dan diduga mencemari lingkungan. Limbah itu dibuang di tanah kosong di bagian samping dan belakang rumah. Limbah itu dibuang bercampur dengan tulang-tulang ayam.
Dalam proses produksinya, daging ayam berasal dari ayam yang dibeli dan disembelih sendiri. Tulang belulangnya dibuang di tanah kosong di bagian samping dan belakang rumah. Sementara bulu-bulu ayam dibakar. Limbah produksi abon terkadang dikeluhkan warga karena baunya. Itu diakui oleh ketua RT setempat.
"Nggak selalu bau. Tetapi terkadang bau. Kalau ada komplain dari warga, saya komplain ke pekerjanya. Setelah itu bau nya hilang. Tapi terkadang ada lagi. Kalau bau bisa tercium dari jarak sekitar 100 meter," ujar Sudarsono, Ketua RT 01 RW 06 Kelurahan Prapen, Kecamatan Tenggilis.
Sudarsono mengatakan bahwa home industry ini sudah berjalan sekitar 10 tahun. Dia menjabat sebagai ketua RT pada tahun 2009. Saat dia menjabat, produksi abon ini sudah ada.
'Dari keterangan warga, sebelum digunakan untuk produksi abon. Rumah ini digunakan untuk memproduksi kacang atom," kata Sudarsono.
Sementara itu, Kepala Seksi Sarana Distribusi dan Logistik Dinas Perdagangan Kota Surabaya Ahmad Bashori mengatakan bahwa produksi abon ini diduga belum berizin. "Saya sudah menanyakan ke pengelolanya, terkait dengan perizinan dia mengatakan tidak ada sama sekali, meski ada tulisan izin (Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) di labelnya," kata Bashori.
![]() |
"Saya tidak mengatakan ini ilegal, tetapi bisa dilihat sendiri bagaimana tempat abon ini dibuat. Pak RT saja saya tanya apakah mau makan abon ini. Dia bilang tidak karena melihat sendiri lokasi pembuatannya," kata Bashori.
Lokasi pembuatan abon tersebut berada di belakang rumah utama. Rumah utama sendiri digunakan untuk menyimpan bahan baku dan bahan untuk bumbu abon. Lokasi pembuatan abon tersebut memang menyedihkan. Lokasinya bisa dibilang kotor dan jorok. Bahkan tempat memasak abon itu masih berlantai tanah dengan atap dari asbes yang bolong di sana sini sehingga bila turun hujan, sudah pasti air hujan akan masuk.
Itu terlihat dari lantai tanahnya yang becek dan kotor saat dipijak. Belum lagi temboknya yang berwarna hitam berjelaga. Selain lokasi yang jorok, bau di lokasi pembuatan pun tidak sedap. bau yang tidak sedap itu mengundang banyak lalat yang banyak hinggap di sana-sini.
Polisi akan mendalami kasus ini, termasuk memanggil pemilik usaha yang saat ini masih berada di luar kota. Pemilik usaha bernama Budi Kurniawan, warga Citraland.
"Kami akan dalami kasus ini. Infonya, pemilik usaha masih berada di luar kota. Untuk kasus ini kami akan jeratkan pasal UU perdagangan, UU perindustrian, UU pangan, dan UU perlindungan konsumen," tandas Shinto.
![]() |