Penderitaan itu salah satunya dirasakan Mbah Suminah (72). Ditemui detikcom, Selasa (2/5/2017), nenek lima cucu ini sedang duduk santai di teras rumahnya. Rambutnya yang memutih, tanda usianya sudah senja. Dia tinggal seorang diri di rumah dari kayu berlantai tanah itu sejak suaminya, Rasman meninggal beberapa tahun yang lalu. Sementara anak-anaknya tinggal tak jauh dari rumahnya.
![]() |
Suminah menetap di wilayah eks Desa Sendi sejak 20 tahun silam. Awalnya dia membantu suami berkebun mengelola lahan yang kini dikuasai Kawasan Pemangku Hutan (KPH) Perhutani Pasuruan. Sejak ramai penduduk Sendi berjualan nasi jagung tahun 2002, ibu dua anak ini ikut bergabung. Namun, di usianya yang kini senja, dia tak lagi mampu mencari nafkah.
Tak seperti lansia di desa lain yang rutin menerima kucuran program keluarga harapan (PKH), Sumihan harus gigit jari. Meski tinggal di wilayah eks Desa Sendi, administrasi kependudukan Suminah tercatat sebagai warga Dusun Pacet Selatan, Desa/Kecamatan Pacet. Hanya saja itu tak membuat dia menerima bantuan sosial sepenuhnya.
"Dulu pernah dapat raskin, ambilnya dua bulan atau tiga bulan sekali ke kantor Desa Pacet, hanya dapat 2 -5 Kg. Sekarang sudah lama tidak dapat, PKH juga tidak dapat," kata Suminah.
![]() |
Tak hanya itu, di tengah kondisi fisiknya yang sudah renta, Suminah harus tinggal di rumah yang tak layak huni. Rumah dari kayu itu berlantai tanah dan bata merah. Beberapa bagiannya nyaris ambruk termakan umur.
Bangunan semi permanen seperti ini menjadi satu-satunya pilihan tempat tinggal warga Sendi. Pasalnya, lahan warisan nenek moyang mereka itu kini dikuasai Perhutani. Bangunan permanen akan rawan dari penggusuran.
"Saya tak punya surat kepemilikan atas lahan ini. Kalau digusur ya mau bagaimana lagi," ujarnya pasrah.
Keluhan serupa juga terlontar dari Diah Ratnasari (20), warga Sendi. Ibu satu anak ini telah 10 tahun menetap di wilayah eks Desa Sendi menempati lahan warisan kakeknya. Sama dengan penduduk eks Desa Sendi lainnya, istri Galih Prastandiawan (25) ini tercatat sebagai warga Dusun Pacet Selatan.
"KTP ikut Pacet Selatan karena Sendi belum resmi sebagai desa. Akibatnya kami tak bisa mendapatkan bantuan KIS dan raskin, tak bisa masuk 100 persen," ungkapnya.
Tak hanya itu, Diah juga kesulitan mendapatkan akses pendidikan formal untuk putrinya. Bagaimana tidak, di wilayah Sendi tak ada satu pun fasilitas pendidikan formal, baik pendidikan anak usia dini (PAUD), taman kanak-kanak (TK) maupun sekolah dasar (SD).
"Kalau mau sekolah harus ke Desa Pacet yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari sini," cetusnya.
Nihilnya pembangunan jalan-jalan lingkungan di Sendi juga menjadi keluhan warga. "Jalan yang menuju ke perkampungan berupa tanah dan bebatuan, tidak pernah dibangun. Kami kesusahan ketika hujan, jalan menjadi licin," kata Feri Eka Prayoga Abadi (25) warga yang sekitar 10 tahun menetap di Sendi.
Feri berharap Pemkab Mojokerto segera mengembalikan Sendi menjadi sebuah desa. "Harapan kami legalitas agar cepat selesai, biar kami bisa merasakan pembanguan seperti desa lain," pintanya.
Harapan serupa juga dilontarkan Katri (50), warga Sendi yang telah menetap 15 tahun. "Semoga segera diresmikan oleh pemerintah menjadi Desa Sendi, biar di sini dibangun sekolah sehingga anak-anak kami tak jauh-jauh kalau mau sekolah," tegasnya.
![]() |
Sementara Kepala Desa Pacet, Yadi Mustofa menjelaskan, penduduk eks Desa Sendi saat ini sekitar 67 kepala keluarga (KK). Sekitar 90% dari jumlah itu, merupakan warga yang tinggal di Dusun Pacet Selatan, Desa Pacet. Desa ini memang berbatasan langsung dengan wilayah eks Desa Sendi. Sejak tahun 2000, mereka menempati Sendi karena merasa mempunyai lahan warisan nenek moyang mereka.
Kendati Sendi bukan wilayah Desa Pacet maupun desa lainnya, lanjut Yadi, di data administrasi kependudukan, seluruh penduduknya tercatat sebagai warga Dusun Pacet Selatan. Hanya saja, bantuan sosial dari pemerintah berupa raskin, PKH, KIS belum menyentuh semua warga Sendi yang membutuhkan lantaran harus dibagi dengan penduduk Pacet yang saat ini mencapai 2.200 KK atau sekitar 6.000 jiwa.
"Kami tidak berani menyalurkan dana desa untuk pembangunan di Sendi karena bukan teritorial saya," tandasnya. (ugik/ugik)