Hal itu dikatakan Raden Heri Apriyanto (41), yang mengaku sebagai salah seorang keturunan Bupati Kromodjojo Adinegoro. Menurut dia, nama Kromodjojo Adinegro merupakan gelar kebangsawanan yang didapatkan kakek moyangnya dari garis raja terakhir Majapahit, Girindra Wardhana. Di dalam sil-silah keluarga, dia merupakan cucu dari Kromodjojo Adinegoro V, Raden Bagoes Abdoel Madjid.
Kepemimpinan trah Kromodjojo di Mojokerto, lanjut Heri, dimulai dari Kromodjojo Adinegoro III. Bangsawan dengan nama asli Ersyadan itu dintunjuk pemerintah kolonial Belanda untuk menjadi regent (bupati era penjajahan belanda) yang pertama. Dia memerintah tahun 1866-1894.
![]() |
Tampuk kepemimpinan dilanjutkan oleh Kromodjojo Adinegoro IV, Mashudan tahun 1894-1916, kemudian Kromo Adinegoro V, Raden Bagus Abdoel Madjid tahun 1916-1932. Sementara Kromodjojo Adinegoro I dan II merintah di Surabaya.
"Berdasarkan kisah turun-temurun di keluarga kami, Sendi memang ikut wilayah Mojokerto," kata Heri kepada detikcom, Selasa (2/5/2017).
Heri menjelaskan, selama era pemerintahan Bupati Kromodjojo, Desa Sendi menjadi basis pertahanan para gerilyawan karena letaknya yang strategis di jalur Mojokerto-Malang dan di ketinggian lereng Gunung Welirang.
Oleh sebab itu, setiap kali melintasi wilayah ini, para petinggi Belanda harus mendapatkan pengawalan dari sang regent. Dengan begitu, orang-orang Belanda itu tetap aman meski singgah di Sendi. Pasalnya, anak-anak bupati juga ikut angkat senjata bersama para gerilyawan.
"Bupati terdahulu memang ikut Belanda, tapi putra-putra mereka ikut berjuang dengan para gerilyawan. Kemungkinan itu bagian dari strategi," jelasnya.
![]() |
Kisah Heri ini didukung dokumen kretek Desa Sendi yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda tahun 1915. Dalam dokumen tersebut tertulis nama Desa Sendi masuk District Djaboeng, Regentschap Mojokerto, Recidentie Soerabaja yang mencakup wilayah seluas 68 hektare.
Sendi berhasil direbut tentara Jepang pada tahun 1942. Jepang membangun bunker pertahanan dan gudang logistik yang masih ada sampai saat ini. Warga setempat menyebutnya Gua Jepang. Namun, wilayah ini kembali dikuasai pejuang saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tahun 1945. Kemudian tahun 1948, Desa Sendi hancur akibat agresi militer Belanda II.
Melihat historis Sendi yang cukup penting pada masa lalu, sangat disayangkan jika saat ini kampung di lereng Gunung Welirang itu tak diakui oleh Pemkab Mojokerto.
"Semoga perjuangan masyarakat Sendi untuk mengembalikan desanya membuahkan hasil," tandas Heri. (ugik/ugik)