Mereka mengklaim, jika tanah seluas 32,9 hektar yang dikuasai AURI bukanlah tanah negara. Mereka yang mengaku sebagai generasi ketiga, telah hidup di tanah itu dengan bekal selembar surat petok D yang dikeluarkan Lurah Harnowo saat itu. Namun bukti kepemilikan lahan itu diminta oknum tentara yang mengatakan akan dibuatkan sertifikat secara kolektif.
"Tahun 1982 petok D dari 64 KK ini diminta tentara katanya mau dibuatkan sertifikat.Tapi sampai sekarang bukan dapat sertifikat, kami malah terintimidasi dan belum merasakan merdeka di tanah nenek moyang kami sendiri," kata seorang warga, Maryono (46) pada wartawan.
Warga juga mempertanyakan munculnya Sertifikat Hak Pakai (SHP) No 2 dan 4 tahun 2005 dibawah penguasaan Departemen Pertahanan Keamanan Cq. TNI AU yang dikeluarkan BPN Blitar.
![]() |
Hal senada juga diungkapkan warga desa lain, Tukirah (67) yang tidak menerima pembayaran ganti rugi senilai Rp 15 juta seperti yang diinginkannya. Dia justru mengaku sering mendapat intimidasi. Seperti pagar dan dapurnya digempur habis oleh oknum tentara.
"Katanya tentara gak boleh buat bangunan permanen. Lha tapi rumah ibu saya sudah berdiri duluan. Terus sama pak lurah dibolehkan. Akhirnya saya bikin pagar setengah meter sama dapur, tapi digempur preman anak buahnya tentara," ungkapnya.
Semula, warga menyewa lahan seluas 8,2 hektare dengan membayar Rp 36 juta per tahun. Namun sejak tahun 2015 mereka tidak mau lagi membayar sewa dengan alasan, tanah yang dikuasai AURI itu bukan tanah negara.
Menanggapi kisruh yang berkelanjutan ini, Kasi Intel Lanud Abd Saleh Malang, Letkol Tri Priyo Widodo saat dihubungi menyatakan, pihak TNI AU telah melakukan audiensi pada 1 Nop 2016 di Malang. Saat itu perwakilan warga bersama Forpimda Kab Blitar, DPRD duduk bersama dengan mediasi dari Komnas HAM untuk mencari jalan tengah.
"Di audiensi dengan pihak Lanud Abd Saleh Malang juga dihadirkan BPN Blitar yang menceritakan riwayat diterbitkannya SHP No 2 dan 4 tahun 2005 itu. Dan sejak saat itu sampai sekarang, tidak ada pihak yang menggugat sertifikat itu," jelas Tri.
Dalam audiensi itu, papar Tri, diperoleh kesepakatan jika kelompok Maryono dinyatakan ilegal menggarap lahan karena tidak meneruskan perjanjian pakai fasilitas negara.
"Sampai dengan tanggal 30 Nopember 2016 kelompok Maryono tidak diperbolehkan menggarap lahan tersebut sebelum ada perpanjangan perjanjian dengan Lanud Abd Saleh," jelasnya.
Dikonfirmasi terkait intimidasi tentara pada beberapa warga, Tri menegaskan bahwa yang dilakukan lima petugas di Pangkalan TNI AU Detasemen Ponggok Kab Blitar sebagai tanggung jawab mereka mengamankan aset negara.
"Mereka sebelum bertindak mesti lapor dulu ke Lanud Abd Saleh Malang, dan tindakan yang dilakukan prajurit kami di Pos Ponggok Kab Blitar telah sesuai prosedur yang ditetapkan," tegas Tri. (bdh/bdh)