Kepala Pos Pengamatan Gunung Api (PPGA) Ijen, Heri mengatakan, gas beracun yang muncul di Kawah Ijen terjadi saat musim hujan. Biasanya terjadi bulan Desember-April. Air hujan membuat permukaan kawah yang panas menjadi dingin. Sehingga muncul letupan di dalam kawah atau bualan yang membawa material gas vulkanik.
"Gunung api selalu ada gas beracun. Namun memiliki ambang batas minimal. Kalau banyak ya bisa mematikan. Gas itu berupa sulfur dioksida (SO2), karbon dioksida (CO2) dan asam sulfat (H2S)," kata Heri kepada detikcom, Selasa (7/3/2017).
Untuk ambang batas minimal berkisar 25 part per million (PPM). Sementara untuk kejadian Minggu (5/3), gas yang muncul mencapai 80 PPM. Hal ini sangat membahayakan bagi manusia.
"Gejalanya sesak napas. Dan bisa berujung kematian. Makanya saya keluarkan rekomendasi pendakian malam ditutup dan melarang ada aktivitas pada radius 1 Km dari kawah," tambahnya.
Sebelumnya, pernah terjadi letupan gas beracun di Kawah Ijen. 12 Januari lalu sempat terjadi letupan gas beracun yang membuat penambang belerang di Kawah Ijen berlarian. Namun yang paling parah terjadi tahun 1976. Gas beracun Ijen mengakibatkan tewasnya 6 penambang belerang.
"Saat itu yang tidak sadarkan diri sekitar 32 orang. Tapi mereka selamat," pungkasnya.
Kawah Gunung Ijen yang berada di perbatasan Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso, kembali mengeluarkan gas beracun. Hal ini sangat membahayakan bagi pendakian pada malam hari.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banyuwangi merekomendasikan penutupan jalur pendakian ke gunung yang mempunyai danau kawah terbesar di Asia itu mulai hari Minggu (5/3/2017) pukul 15.00 wib hingga pukul 06.00 wib. Meski pendakian ditutup pada malam hari, status Gunung Ijen masih dalam kondisi normal. (fat/fat)











































