Perempuan itu adalah Nuraini. Kali ini perempuan berjilbab tersebut berjalan mengelilingi mal seluas 5 hektar yang ada di tengah kota tersebut. Sambil berjalan, Nuaraini meletakkan sebuah kendil, kain putih dan sapu lidi di 10 pintu masuk Grand City. Nuraini melakukannya sambil menutup mulut menggunakan kain hitam.
"Kendil itu terbuat dari tanah. Saya ingin tanah keluarga kami kembali," ujar Nuraini kepada detikcom, Senin (24/10/2016).
Sementara untuk lidi, Nuraini menyimbulkan sebagai alat untuk menghukum pihak-pihak yang telah bertindak curang, sehingga sebuah mal tiba-tiba bisa berdiri di atas tanah keluarganya. Dan untuk kain hitam yang membebat mulutnya, Nuraini mengaku sudah lelah dan capek selama ini sehingga ia lebih baik diam, namun terus berjuang.
"Saya sudah 12 tahun menuntut hak kami sebagai ahli waris," ujar Nuraini.
Keterangan lebih lanjut diutarakan oleh Petrus Hariyanto, juru bicara yang mewakili Nuraini. Menurut Petrus, Nuraini sudah melakukan segalanya selama 12 tahun terakhir, namun hasilnya belum tampak menggembirakan. Meski begitu, perjuangan Nuraini tak surut.
"Bulan ini saja kami telah melakukan sejumlah aksi," kata Petrus.
Aksi itu adalah merantai pagar Grand City, memecahkan kencil, mengusung keranda dan membawa bunga mawar. Itu dilakukan di Grand City. Nuraini juga mendatangi BPN Surabaya yang menjadi salah satu pangkal masalah.
Setelah melakukan aksi di Grand City, Nuraini melangkah menuju Pemkot Surabaya. Namun keinginan Nuraini untuk bertemu Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini belum kesampaian. Nuraini hanya ditemui Kepala Bakesbang Linmas Soemarno.
Kepada Nuraini, Soemarno meminta maaf bahwa wali kota belum bisa menemui dan dia mewakili atas nama wali kota. Soemarno berjanji akan mempertemukan Nuraini dengan Risma untuk menyampaikan unek-uneknya.
"Kami hanya memfasilitasi saja. Kami sudah mendengar keluhan ibu dan semoga nanti bu wali kota akan mendengar sendiri keluhan dan unek-unek ibu," kata Soemarno.
Nuraini mengklaim, tanah yang sekarang berdiri Grand City di atasnya di Jalan Gubeng Pojok 48-50 dulunya adalah milik keluarganya. Pada tahun 1990, tanah yang ditempati Marinir AL saat itu kemudian dipindahtangankan dengan proses ruislag ke PT Singo Barong Kencana (SBK).
Ruislah itu dilakukan tanpa izin dari pihak Muhammad bin Al Maghrabi (Keluarga Nuraini selaku pemilik sah rumah dan tanah). Oleh PT SBK tanah di Gubeng Pojok itu didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kota Surabaya II dan diterbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan No 714 tertanggal 8 Juli 1994 di Surabaya. Sekitar tahun 1991-1994, PT SBK mengajukan kredit kepada Bank Umum Nasional (BUN) dengan agunan tanah di Gubeng Pojok itu.
Di tengah jalan, BUN gulung tikar karena krisis moneter di tahun 1998. Aset BUN pun menjadi milik/disita Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) termasuk tanah di Gubeng Pojok itu. Pada ahirnya tanah itu jatuh ke Hartati Murdaya melalui PT HWG yang mengklaim memperoleh tanah itu dari lelang dari BPPN pada tahun 2000.
"Tanah itu masih bermasalah. Tidak bisa membeli atau menguasai suatu tanah yang masih dalam sengketa," tandas Petrus. (iwd/fat)