Ketua APTRI Gempolkrep, Mubin mengatakan, pada musim giling yang dimulai 21 Juli lalu, gula petani telah dua kali dilelang ke pasar. Menurut dia, ribuan petani tebu kembali harus menelan pil pahit dengan rendahnya harga gula di pasar.
"Kemarin Lelang Rp 11.150 kemudian Rp 11.200, padahal Bulog membeli gula PTPN seharga Rp 11.500. Mengapa harga gula petani di bawah Bulog," kata Mubin, Sabtu (20/8/2016).
Mubin mengakui, harga lelang di pasar memang lebih tinggi dibandingkan harga patokan petani (HPP) yang tahun ini ditetapkan pemerintah Rp 9.100. Hanya saja, dengan harga lelang Rp 11.200, petani merugi.
"Karena biaya produksi di atas itu (HPP). Petani tak bisa dihadapkan dengan situasi pasar yang tak menentu. Kalau harga lelang Rp 11.500, petani baru kembali modal produksi. Itu khusus yang lahannya sendiri, bagi yang lahannya menyewa jelas rugi," ungkapnya.
Mubin menjelaskan, APTRI Gempolkrep saat ini menaungi 30 koperasi dengan anggota sekitar 30.000 petani tebu yang tersebar di Kabupaten Lamongan, Kabupaten dan Kota Mojokerto, serta sebagian Kabupaten Jombang. Luas lahan yang digarap mencapai 15.000 hektare.
Pada musim panen tahun lalu, petani tebu Gempolkrep menghasilkan 9,7 juta kwintal tebu. Dengan rendemen 7,5℅ dan bagi hasil dengan pabrik gula (PG) Gempolkrep 65℅, maka gula yang diperoleh petani mencapai 47.288 ton gula pasir.
Sementara musim panen tahun ini, pihaknya menargetkan hasil 10,5 juta kwintal tebu. Sementara gula bagi hasil untuk petani ditargetkan mencapai 51.187 ton.
Namun, produksi yang melimpah tak diimbangi dengan harga jual gula yang tinggi menjadi momok bagi para petani tebu. Di lain sisi, biaya produksi yang dikeluarkan setiap petani dari awal tanam hingga panen terus naik.
Untuk satu hektare lahan, jelas Mubin, biaya yang dikeluarkan petani tebu mencapai Rp 30 juta. Itu belum termasuk biaya sewa lahan bagi para petani yang tak mempunyai lahan sendiri.
Menurut dia, jika ditambah biaya sewa lahan, biaya produksi per hektare akan mencapai Rp 47 juta. Tingginya biaya produksi itu tak lain karena semakin mahalnya ongkos tenaga kerja, pupuk, obat-obatan, dan bibit.
"Biaya garap Rp 11 juta, bibit Rp 4,5 juta, obat-obatan dan lainnya kalau dihitung secara keseluruhan bisa sampai Rp 50 juta per hektare," terangnya.
Tingginya biaya produksi dan rendahnya harga gula di pasar, kata Mubin, membuat ribuan petani lagi-lagi menyalahkan pemerintah. Bagaimana tidak, pemerintah dianggap tak mampu mengendalikan tata niaga gula yang berimbas pada berlakunya mekanisme pasar.
Setiap musim panen tiba, karena stok melimpah, harga lelang gula petani anjlok. Di lain sisi, petani tebu terpaksa harus menjual gula mereka dengan harga murah untuk segera menutup pinjaman dari pemerintah.
"Harga gula turun karena banyaknya gula rafinasi yang beredar di pasaran. Sebagian masuk ke pasar umum dengan harga lebih murah," ucapnya.
Mubin berharap, pemerintah membenahi tata niaga gula dengan benar-benar memperhitungkan angka impor gula agar sesuai dengan kebutuhan di dalam negeri. Jika persoalan ini terus berlanjut, dia khawatir harga lelang untuk gula hasil giling Agustus-November nanti juga akan membuat petani menangis.
"Supaya dievaluasi dengan hasil produksi gula dalam negeri, misalnya, kalau kebutuhan gula kita 4,5 juta ton, sementara hasil produksi 2,5 juta ton, impor harus disesuaikan dengan kebutuhan konsumen agar harga bertahan," pungkasnya. (bdh/bdh)