Seperti biasa, Muhammad Doni (14) menjalani rutinitasnya di perlintasan sebidang Desa Mojoranu. Bukannya bermain, sepulang sekolah, siswa kelas VII MTs (setingkat SMP) itu justru melakukan pekerjaan yang lazimnya ditanggung pria dewasa. Kebetulan, perlintasan itu hanya berjarak sekitar 300 meter dari rumahnya.
Tak peduli terik matahari begitu menyengat, dengan peluit putih di mulut dan bendera merah di tangan kanannya, Doni memandu pengendara untuk menyeberangi perlintasan Mojoranu. Tubuh kurus itu begitu lincah memberikan aba-aba ke setiap pengendara. Kapan saatnya pengendara lewat, dan kapan saatnya berhenti lebih dulu agar tak saling bertabrakan atau disambar kereta api yang melintas.
"Saya ingin membantu embah (Kakek), kasihan beliau capek cari uang," kata Doni saat berbincang dengan detikcom, Rabu (20/7/2016).
Kakek Sahut (80) saat ini usianya memang sudah renta. Ayah dari ibu Doni itulah yang semula mengemban tugas mulia itu, yakni sejak 2007 silam. Seperti Doni yang sekarang, Kakek Sahut begitu setia menjaga perlintasan itu.
Sayangnya, di usianya yang kian senja, sang kakek mulai sakit-sakitan. Kini tugasnya diemban oleh Doni. Di usianya yang sangat belia, anak ke dua pasangan Suwaji (41) dan Urifah (40) itu begitu memahami bahaya perlintasan tanpa palang pintu tersebut.
Bagaimana tidak, jalan yang melintasi rel kereta api itu berupa tikungan yang menanjak. Sudah begitu, perlintasan ini tak dilengkapi palang pintu yang seharusnya menutup jalan ketika ada kereta lewat. Bahaya pun mengintai setiap penyeberang perlintasan ini.
"Setiap saat harus dijaga. Bahaya kalau dibiarkan. Karena sudah ada yang meninggal ditabrak kereta," ujar Doni yang mengaku sejak 2013 menjaga Perlintasan Mojoranu.
Di lain sisi, pekerjaan itu tentunya sangat berbahaya bagi Doni. Resiko tersambar kereta atau kendaraan yang melintas bisa saja terjadi setiap saat. Namun, bocah kurus ini mengaku sudah mendapatkan banyak ilmu dari sang kakek.
"Sudah diajari embah, kalau ada kereta ada tanda lampu hijau. Kalau ada kereta lewat, mobil disuruh mundur dulu. Harus tengak-tengok terus," tuturnya.
Kendati begitu, Doni tak pernah melupakan kewajibannya untuk sekolah. Dia menjaga perlintasan sepulang sekolah, yakni pukul 13.00-17.00 Wib. Saat ramai kendaraan, dia bahkan jaga sampai pukul 21.00 Wib.
Di usianya yang tergolong anak-anak, Doni banyak melewatkan kesempatan bermain bersama teman sebayanya. Keinginannya untuk bermain sepertinya sirna. Dia lebih memilih berada di perlintasan.
Tak sekadar membantu pengguna jalan, dia tak menampik kalau menaruh harapan terhadap uang receh dari para pengendara. "Tidak ada tarif, seikhlasnya saja," cetus bocah yang bercita-cita menjadi tentara itu.
Sementara sang ayah, Suwaji mengaku sudah berulang kali melarang Doni menjaga perlintasan. Namun, larangan itu seakan malah menjadi pendorong bagi Doni. Terlebih lagi, tak ada kepedulian pemerintah terhadap Perlintasan Mojoranu yang tak dilengkapi palang pintu.
"Mau bagaimana lagi, dia dicegah tidak mau. Ingin membantu orang," pungkasnya. (fat/fat)











































