"Kami akan melakukan koordinasi dengan pihak kejaksaan, polisi, pakar sejarah, dan pihak terkait lainnya agar kami tidak kalah di pengadilan," ujar Kasatpol PP Surabaya Irvan Widyanto dalam jumpa pers di Humas Pemkot Surabaya, Selasa (10/5/2016).
Setidaknya ada dua landasan hukum yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku pembongkaran. Pertama adalah UU nomor 5 tahun 1992 yang dijabarkan dalam Perda nomor 5 tahun 2005. Perda ini menjerat pelaku dengan pidana kurungan maksimal 3 bulan dan denda maksimal Rp 50 juta.
Kedua adalah UU nomor 11 tahun 2010. UU ini memaksa pelakunya dijatuhi hukuman kurungan penjara minimal 1 tahun dan maksimal 15 tahun dan denda minimal Rp 500 juta dan maksimal Rp 5 miliar.
Senada dengan Irvan, Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCKTR) Surabaya Eri Cahyadi juga tak mau gegabah dalam kasus ini. Semuanya perlu koordinasi agar nantinya tak kalah di pengadilan.
"Yang UU nomor 11 tahun 2010 memang lebih berat untuk hukuman dan dendanya. Tetapi akan kami kaji lagi apakah UU ini ada PP nya, yang dituangkan dalam Perda, dan harus ada
perwalinya," ujar Eri.
Jika UU tersebut berdiri sendiri, kata Eri, dan nantinya bila PP nya tidak sama dengan gugatan, maka akan sia-sialah gugatan yang diajukan. Karena itu koordinasi dengan pihak terkait sangat diperlukan.
"Kami sudah tiga kali kalah cuma karena itu. Kami tak ingin kalah lagi," tandas Eri. (fat/iwd)








































.webp)













 
             
  
  
  
  
  
  
 