Dari pengamatan detikcom, Selasa (3/5/2016), areal lokasi tersebut tak nampak terlihat dari luar karena tertutup pagar seng setinggi sekitar 2,5 meter berwarna hijau. Namun dari pintu pagar yang terbuka bisa terlihat bahwa sudah tidak ada bangunan di dalamnya. Semuanya sudah rata dengan tanah. Yang terlihat hanyalah bekas reruntuhan, kayu, kusen, dan sisa genteng yang siap diangkut keluar.
Padahal sebelumnya ada rumah cukup besar yang berdiri di atasnya. Halamannya pun cukup asri dengan berbagai pohon rindang yang menaungi teduh halaman. Prasasti atau tetenger yang menyatakan bahwa rumah tersebut merupakan bangunan cagar budaya sudah tak terlihat lagi. Prasasti itu sebelumnya terletak di halaman depan rumah di dekat pagar.
![]() |
Beberapa pekerja terlihat sedang membongkar batu bata yang masih melekat di bangunan sebelahnya. Seorang mandor bangunan yang mengawasi pekerjanya mengatakan bahwa pekerjaan pembongkaran yang dilakukannya sudah berjalan sekitar sebulan lamanya.
"(Pembongkaran) ini sudah sebulan. Kalau kemarin-kemarin ada banyak pekerja, ada 13. Sekarang paling hanya dua atau tiga orang," ujar Mahfud, si mandor.
Mahfud mengaku tak tahu pemilik rumah yang dihancurkannya. Mahfud juga mengaku tak tahu jika rumah yang diratakannya merupakan bangunan cagar budaya. Mahfud hanya tahu jika dia telah menerima order proyek untuk merobohkan rumah itu. Dan tugas tersebut sudah hampir diselesaikannya.
"Saya juga tak tahu mau dibangun apa di tempat ini," kata Mahfud.
Warga sekitar sebenarnya tahu jika bangunan bernomor 10 itu merupakan bangunan cagar budaya. Mereka juga tahu pembongkaran tersebut. Namun mereka tak tahu jika bangunan cagar budaya tak boleh dihancurkan.
"Kabarnya sih dijual Rp 17 miliar. Yang beli pemilik bangunan di sebelahnya. Tapi itu benar atau tidak, saya tidak tahu," ujar penjual nasi di seberang bangunan yang enggan disebut namanya.
Bagi perjuangan pergerakan kemerdekaan di Surabaya, rumah di Jalan Mawar 10 tersebut merupakan salah satu saksi bisu. Di dalam rumah itu Bung Tomo pernah membakar semangat warga Surabaya lewat corong radio di masa perang November 1945. Rumah itu disulap menjadi stasiun radio sekaligus tempat persembunyian Bung Tomo. Orang menyebutnya radio Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia.
Selain Bung Tomo, ada Muriel Stuart Walker atau populer dengan nama K'tut Tantri yang bersiaran di sana. Perempuan asal Amerika Serikat yang kemudian menjadi penulis pidato Presiden Sukarno itu berjasa menyiarkan perjuangan Indonesia ke luar negeri menggunakan bahasa Inggris. Radio tersebut akhirnya diketahui oleh musuh, yang memaksa Bung Tomo memindahkannya ke Jalan Biliton.
Pemerintah Kota Surabaya menjadikan rumah tersebut sebagai benda cagar budaya lewat SK Wali Kota Surabaya No. 188.45/004/402 1 04/1998. Pernyataan itu tertempel pada Sebuah pelat seng berwarna keemasan tertempel pada depan tembok teras dan juga sebuah prasasti yang ada di halaman depan rumah. Halaman depan rumah itu cukup luas dengan pohon peneduh, seperti jati, jambu air, dan berbagai tanaman perdu, yang terawat.
Bangunan utama rumah memang sudah tidak ditempati pemiliknya. Rumah itu awalnya dimiliki oleh Amin. Setelah Amin meninggal, rumah diwariskan kepada anaknya, Narindrani. Tapi Narindrani lebih sering berada di Malang, Jawa Timur, di rumah yang ditempatinya bersama suami dan anaknya. Meski rumah utama tak ditempati, namun rumah tersebut pada bangunan di sampingnya difungsikan sebagai kos. (iwd/bdh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini