Sumber energi alternatif untuk keperluan sehari-hari tentu saja sangat dibutuhkan. Dewan Energi Nasional (DEN) mengenalkan pelet energi. Selain murah, bahan bakar alternatif ini dinilai lebih aman.
Pelet energi adalah bahan bakar alternatif yang dibuat dari berbagai bahan bekas seperti serbuk gergaji, sekam padi, dan lain sebagainya. Untuk bisa menggunakan pelet energi ini, diperlukan sebuah kompor khusus.
"Karena itu penggunaan pelet energi ini harus disosialisasikan agar segera bisa direalisasikan secepatnya," ujar Anggota Dewan Energi Nasional Dwi Hary Soeryadi di sela sosialisasi dan survei potensi pasar gassifikasi biomassa berbasis pelet energi di Manukan Wetan, Tandes, Kamis (14/4/2016).
Dwi mengatakan, keuntungan menggunakan pelet energi adalah lebih hemat karena bahan bakunya murah, lebih sehat karena tidak ada emisi gas buang atau asap, bahan baku untuk membuat pelet energi melimpah, dan lebih aman karena diklaim tak ada risiko meledak.
"Karena ini menggunakan kompor khusus, maka kami akan mendorong pemerintah untuk lebih menyosialisasikan energi alternatif ini," kata Dwi.
Dalam sosialisasi tersebut, warga diperkenalkan kompor sekaligus pelet energi. Warga diperlihatkan bagaimana menggunakan kompor berbahan energi alternatif ini.
"Energi baru ini sudah dikenalkan sejak dua minggu lalu. Warga sih antusias untuk digunakan memasak. Warga ingin menggunakan tetapi warga juga meminta kepastian ketersediaan barangnya," ujar Ketua RT 04 RW 01 Manukan Wetan Didik Kurniawan.
Didik berharap pelet energi ini bisa digunakan secara masif. Jika sudah masif, maka pelet energi tidak hanya mejadi energi alternatif, tetapi juga energi substitusi bagi energi saat ini seperti elpiji, minyak tanah, atau bahkan kayu bakar.
"Agar jadi masif dan digunakan banyak orang, sosialisasinya harus gencar. Ketersediaan barang dan kompornya juga harus ada. Jangan sampai saat sudah menggunakan, energinya tidak ada," tandas Didik.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jatim Dewi J Putriatni mengatakan, pelet energi sebenarnya sudah pernah diujicoba dan disosialisasikan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
"Kompornya sudah diproduksi massal oleh Universitas Brawijaya (UB)," kata Dewi.
Namun program energi alternatif ini berjalan lambat karena nilai keekonomiannya yang kurang menarik dan suplai barang yang tidak lancar. Selain itu, masih murahnya gas elpiji yang masih mendapat subsidi dari pemerintah juga manjadi salah satu kendalanya.
"Regulasinya harus diatur oleh pemerintah sehingga energi yang satu sama lain bisa saling mengisi. Dengan begitu program diversifikasi bisa berjalan lebih baik," tandas Dewi. (fat/iwd)