Dalam Yudisium Program Pasca Sarjana Hukum Universitas Airlangga (Unair) di Aula Fakultas Hukum Unair, Jumat (18/3), pria yang sebelumnya menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Intelejen (Jamintel) itu mendapat penghargaan sebagai lulusan terbaik pada Program Pascasarjana Unair oleh Rektor Unair, Prof M Nasih.
Usai penghargaan, Arminsyah menjelaskan selama ini dalam menangani tindak pidana korupsi hanya melihat dari unsur keterlibatan dan pengetahuan. Para pelaku akan dihukum sesuai dengan proses keterlibatannya dan pengetahuannya dalam tindakan korupsi.
"Tidak hanya dua unsur tersebut, dalam menengani kasus tindak pidana korupsi, penetapan sebagai pelaku tidak hanya dua itu. Yang namanya korupsi itu akan terjadi bila orang itu sengaja untuk melakukannya," jelasnya.
Ibarat sudah budaya, korupsi di Indonesia ini sudah ada dimana-mana. Akan tetapi, belum tentu orang yang berada di lingkungan korupsi itu melakukan tindakan korupsi. Misalnya, orang itu bekerja sebagai bendahara dan ditugasi membuat perubahan anggaran sesuai permintaan atasannya. Bendahara tidak berani menolak perubahan anggaran karena tidak mengetahui. Namun, ketika ada audit, bendahara terkena kasus korupsi karena anggaran dibuat oleh dia.
"Bisa ibaratkan orang puasa hari pertama lalu dia minum karena lupa dan tidak tahu. Apakah dia bersalah tentu tidak karena lupa. Begitupula ketika menangani kasus korupsi, tidak bisa kita melihat dia salah karena dalam kenyatannya dia minum waktu puasa," jelasnya.
"Dia sengaja atau tidak. Itu yang harus dikaji dalam penetapan tersangka," jelasnya.
Arminsyah yang lahir di Padang, 3 Mei 1960 ini menyatakan guna membuktikan kesengajaan pelaku korupsi, seorang jaksa ataupun hakim bisa melakukan dengan tiga pendekatan. Diantaranya, pendekatan koherensi, yakni mengkaji dan menganalisis kekonsistenan keterangan dan pengalaman tersangka. Semakin banyak pengalaman, maka indikasi kesengajaannya makin meningkat.
Kedua, pembuktian dengan pendekatan linguistik atau ilmu kebahasaan. Untuk membuktikan kebenarannya harus dikaji lewat struktur informasi dan keterangan tersangka. Ketiga, pembuktian dengan pendekatan psikologi mulai dari menganalisis keutuhan, kekonsistenan pikiran, perbuatan, dan tindakan pelaku.
"Beberapa kejaksaan sudah menerapkan ini. tapi belum menyeluruh, saya berharap semua jaksa bisa menerapkannya ketika menangani tipikor," pungkasnya. (bdh/fat)