Gereja ini dibuat pada tahun 1862. Seperti tertera jelas di bawah undakan di pintu masuk gereja. Jika diperhatikan dari dekat, kontruksi bangunan sekitar 80 persen terbuat dari seng, besi, tembaga dan sisanya terbuat dari papan kayu jati.
Bangunan berukuran 12x30 meter ini bagian temboknya terbuat dari seng tebal, sedangkan tiang penyangga dari besi, bagian kuda-kuda atap terbuat dari besi yang dibaut, atau secara konstruksi biasa disebut bangunan knock down atau sistem bangunan bongkar pasang.
Tampak bangunan ini tidak ada kerusakan atau berkarat. Dibangun di atas tanah seluas 300 meter persegi, setiap ukiran pada kaca jendela asli ini mempunyai arti tersendiri. Misalnya lambang Salib, lambang trinitas, dan lambang roh kudus.
Bahkan, mimbar pendeta dan bejana pembabtisan dibiarkan asli hingga kini oleh pihak gereja. Sama sekali belum melakukan pemugaran. Hanya menambah lantai yang awalnya hanya ubin, saat ini lantai dilapisi batu marmer.
Yang lebih unik lagi, alat sakramen atau alat perjamuan roh kudus, berupa cawan, teko dan sloki yang terbuat dari bahan kuningan asli peninggalan Belanda buatan tahun 1868. Kondisinya masih bagus dan tetap digunakan saat ada acara-acara sakral peribadatan hingga sekarang.
Selain itu, kitab Injil berbahasa Belanda kuno yang sampulnya berbahan kulit buatan tahun 1618 hingga 1619, kondisinya juga masih terawat, meski beberapa bagian robek dan usang.
Konon gereja merah ini hanya ada 2 di dunia, yakni di Denhag negara asalnya Belanda dan di Kota Probolinggo Negara Indonesia.
Menurut Pendeta Meilin Suryani Tapahi, pendeta gereja merah, dari sejarahnya awal gereja berwarna merah, selain 80 persen bahan bangunan terbuat dari besi, bangunan ini berdiri tidak jauh dari laut utara, sehingga besi dilapisi cat meni, untuk mengantisipasi karat.
"Gereja merah ini dibuat tahun 1862 oleh Belanda. Uniknya ornamen semuanya dari besi dan seng tembaga, dan hanya ada 2 di dunia, di Kota Probolinggo Indonesia dan di Denhag Belanda," ungkap Pendeta Meilin, Kamis (24/12/2015).
(fat/fat)