Kisah Letusan Pertama Kali Gunung Bromo Hingga Kini Berstatus Siaga

Kisah Letusan Pertama Kali Gunung Bromo Hingga Kini Berstatus Siaga

Budi Sugiharto - detikNews
Kamis, 17 Des 2015 02:30 WIB
Wisatawan asing masih berkunjung ke Bromo/Foto: Budi Sugiharto
Surabaya - Pesona alam Gunung Bromo cukup eksotik. Gunung yang menyedot wisatawan asing maupun domestik kini berstatus siaga atau level III sejak 4 Desember 2015. Semburan abu dimuntahkan dari perut Bromo.

Gunung yang memiliki ketinggian 2.329 meter di atas permukaan laut dan berada dalam empat wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Malang kini dinyatakan tertutup untuk dikunjungi wisatawan. Radius aman pun ditetapkan, yakni 2,5 Kilometer dari kawah aktif.

Aktivitas wisata di sekitar Gunung Bromo yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru kontan berhenti berdenyut. Jumlah wisatawan anjlok. Tak lagi terlihat keramaian wisatawan yang menyusuri lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi itu.

Foto: Budi Sugiharto
Tak lagi, terdengar suara knalpot kendaraan hardtop yang hilir mudik mengangkut wisatawan dari Tosari Pasuruan  maupun Cemoro Lawang, Kabupaten Probolinggo. Ringkikan kuda pun senyap. Yang terlihat kini hanya semburan asap pekat yang berbaur dengan abu vulkanis.

Seusai data wikipedia, Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah dengan garis tengah ± 800 meter (utara-selatan) dan ± 600 meter (timur-barat). Sedangkan daerah bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari 4 Km dari pusat kawah Bromo.

Selama abad 20 dan abad 21, Gunung Bromo telah meletus sebanyak beberapa kali, dengan interval waktu yang teratur, yaitu 30 tahun. Letusan terbesar terjadi 1974. Catatan detikcom, letusan Gunung Bromo terakhir terjadi pada 26 Desember 2010 hingga awal tahun 2011. Bahkan pada tahun 2004, letusan Bromo merenggut dua nyawa wisatawan.

Sejarah letusan Bromo seperti dilansir wikipedia terjadi: 2011, 2010, 2004, 2001, 1995, 1984, 1983, 1980, 1972, 1956, 1955, 1950, 1948, 1940, 1939, 1935, 1930, 1929, 1928, 1922, 1921, 1915, 1916, 1910, 1909, 1907, 1908, 1907, 1906, 1907, 1896, 1893, 1890, 1888, 1886, 1887, 1886, 1885, 1886, 1885, 1877, 1867, 1868, 1866, 1865, 1865, 1860, 1859, 1858, 1858, 1857, 1856, 1844, 1843, 1843, 1835, 1830, 1830, 1829, 1825, 1822, 1823, 1820, 1815, 1804, 1775.

Namun, meletusnya Gunung Bromo ini tidak menjadi momok yang menakutkan bagi warga Tengger. Warga di sekitar Bromo sudah terbiasa dengan 'batuknya' gunung yang disucikan itu.

"Warga di sini biasa saja kok, nggak ada yang mengungsi jika Bromo meletus. Tahun 2010 dan 2011, termasuk pada tahun 2004 juga tidak mengungsi," kata Karjanus, pedagang makanan asal Ngadirejo, Sukapura, saat ditemui detikcom di lapaknya, Selasa (15/12/2015).

Foto: Budi Sugiharto
Namun, pedagang yang jualan di depan Lava View Hotel ini mengaku warga yang tinggal di sekitar Bromo tetap mematuhi aturan yang ditetapkan pemerintah jika kondisi Bromo mengalami peningkatan aktivitas vulkanik.

"Seperti sekarang ini ada larangan turun ke lautan pasir, ya warga kan nurut meski kita kesusahan kalau mau cari rumput buat makanan kuda," ungkapnya. Warga yang tinggal di Desa Ngadisari dan Ngadirejo banyak yang memiliki kuda sehingga setiap hari harus mencari rumput untuk makanannya.

Menurutnya letusan awal tahun 2011 lalu, membuat banyak rumah penduduk di Ngadirejo rusak parah. Bangunan balai desa maupun gedung sekolah ambruk karena tak mampu menahan beban abu akita semburan dari perut Bromo. Tak sedikit rumah warga yang rusak.

"Tapi warga tidak mengungsi kan saat itu. Muntahan batu hanya jatuh di lautan pasir, hanya abu yang terbawa angin kemana-mana," katanya. Ia menegaskan jika warga Tengger sudah berpengalaman menghadapi letusan Bromo.

Foto: Budi Sugiharto
Gunung Bromo, bagi warga Tengger dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara adat ini bahkan seolah menjadi kalender wisata internasional.

Setiap Kasada digelar, maka ribuan wisatawan asing maupun domestik akan berduyun-duyun untuk menyaksikan upacara adat yang digelar di Pura Agung Poten Luhur dan dilanjutkan ke puncak kawah dengan membuang sesaji hasil bumi oleh warga Tengger yang mayoritas beragama Hindu itu.

(ugik/fat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya
Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.