Selain dituding ada pemaksaan kepada seluruh siswa untuk membeli, pengadaan seragam batik juga diduga sarat dengan penyimpangan. Salah satu indikasinya, karena pengadaan seragam batik itu konon ditangani oleh Dispendik dengan menunjuk langsung pihak ketiga.
Selain itu, pengadaan seragam batik yang awalnya untuk mendukung kearifan lokal dengan batik khas Situbondo, ternyata batik yang mulai didistribusikan ke siswa itu hasil pesanan dari luar daerah.
"Itu saja sudah nyata-nyata bentuk kebohongan publik. Pengadaan seragam batik ini juga beraroma korupsi karena tidak ditenderkan, melainkan dimonopoli oleh Dispendik. Jangan heran kalau sekarang ada istilah 'Toko Batik Ala Diknas'," kecam Korlap aksi, Rudi Bagas.
Tak hanya itu. Dari sisi harga, seragam batik yang diwajibkan terhadap seluruh siswa SD hingga SMP di Situbondo juga dinilai tidak wajar. Untuk tingkat SD, harga kain yang diwajibkan untuk siswa senilai Rp 110 ribu dan siswi Rp 120 ribu. Sementara untuk pelajar SMP kain batik dibanderol dengan harga Rp 75 ribu per siswa. Ironisnya lagi, meski pembayaran mulai dilakukan oleh para siswa, ternyata hingga kini banyak siswa yang belum mendapatkan seragam batik tersebut.
"Jika ditotal dana yang terkumpul dari penjualan seragam batik itu mencapai sekitar Rp 4,5 miliar. Padahal kualitasnya cukup jelek jika dibandingkan dengan harga di pasaran. Harga kain batik yang terlalu mahal itu juga banyak dikeluhkan para wali murid. Khususnya, para wali murid yang ekonominya pas-pasan. Ini jelas sarat dengan penyimpangan," teriak Anang Sugik, orator lainnya.
Ratusan massa PAKO mengawali aksinya dengan melakukan konvoi sepeda motor, kendaraan bak terbuka, dan MPU dari Jalan Wijaya Kusuma menuju kantor Dispendik di Jalan Madura Situbondo. Tiba di depan kantor Dispendik, massa langsung menutup ruas jalan. Mereka berorasi sambil membentang-bentangkan poster bernada kecaman terhadap pengadaan seragam batik. Di antara poster itu bertuliskan: 'Siswa Bukan ATM','Kami Benci Koruptor','Setelah Batik Apa Lagi?','Bersihkan Diknas dari Preman' dan sebagainya.
Setelah dilakukan negosiasi, sejumlah perwakilan massa akhirnya diijinkan masuk ke dalam kantor Dispendik. Mereka ditemui langsung Sekretaris Dispendik H Syamsul Arifin, Kabid Dikdas Hasyim dan Kabid Dikmen Agus HP.
Di depan perwakilan massa, H Syamsul Arifin membantah jika pihak Dispendik telah mengeluarkan rekomendasi pembelian seragam batik. Menurut Syamsul, Dispendik hanya mengeluarkan rekomendasi jadwal penggunaan seragam batik oleh siswa di sekolah-sekolah di Situbondo.
"Kalau soal pengadaannya, itu dilakukan seorang pengusaha yang datang menawarkan barang. Selain harganya yang cenderung lebih murah, siswa juga diperbolehkan mencicil. Jadi bukan dinas yang berjualan," tepis Syamsul Arifin.
Sayangnya, Syamsul tidak bisa menjelaskan saat perwakilan massa menanyakan tentang pengusaha yang melakukan pengadaan seragam batik untuk siswa di Situbondo. Pria asal Besuki itu bahkan juga mengaku lupa siapa nama si pengusaha dana CV yang digunakannya. Merasa tidak puas, perwakilan massa pun akhirnya memilih keluar.
"Setelah aksi unjuk rasa ini selesai, saya pastikan perwakilan kami akan segera melaporkan Kepala Dinas Pendidikan Situbondo ke Mapolres terkait dugaan korupsi pengadaan batik ini. Dugaan korupsi batik ini harus diusut tuntas," tandas Rudi Bagas. (fat/fat)











































