Bukti kesewenang-wenangan PT KAI adalah pemaksaan pengosongan sebuah rumah di Jalan Kalasan 16 yang rencananya akan dilakukan Selasa (18/11) mendatang. Menurut warga, bila pengosongan itu berhasil, maka rumah lain juga akan mengalami nasib serupa.
Rumah itu sekarang ditempati Sukarsih Astuti (61) dan anak cucu nya. Sukarsih sendiri mewarisi rumah itu dari orang tuanya, Sukarno. "Dulu tanah ini oleh negara diserahkan kepada Dinas Kereta Api (DKA)," ujar Septa Ayu, anak Sukarsih kepada detikcom, Minggu (16/11/2014).
Septa mengatakan, kakeknya, Sukarno, menempati rumah tersebut sejak tahun 1964. Sukarno merupakan seorang pegawai kereta api yang juga pejabat tingkat I. Septa mengakui jika tanah dan bangunan tersebut bukan milik pribadi kakeknya. Setiap tahun mereka membayar sewa yang awalnya dipotong dari gaji Sukarno.
Tidak hanya Sukarno, banyak pegawai kereta api lain yang menempati tanah dan bangunan di kawasan tersebut. Tetapi Septa tidak menganggap jika rumah yang ditempati kakeknya itu adalah rumah dinas ataupun perumahan. Alasannya, yang merawat dan memelihara rumah itu adalah para penghuni sendiri. Dan, kawasan tersebut tidak hanya dihuni para pegawai PT KAI (DKA) saja, namun juga oleh orang umum lainnya.
"Sebenarnya status tanah ini juga tidak jelas dan tiba-tiba pada tahun 2000- an, PT KAI mengklaim memiliki sertifikat hak pakai," lanjut Septa.
Yang menjadi keberatan warga juga adalah tentang uang sewa. Tarif uang sewa yang dikenakan PT KAI sekarang dinilai ngawur karena dirasa sangat mahal. Septa bercerita, sebelum tahun 2005, sewa yang dikenakan hanya Rp 26.400 per tahun. Selanjutnya pada 2005, sewa itu naik menjadi Rp 480 ribu per tahun.
"Tapi tiba-tiba pada Juli 2014 kemarin, kami disuruh membayar uang sewa Rp 105 juta per tahun. Tetapi yang harus kami bayar adalah Rp 393 juta dengan hitungan tunggakan mulai tahun 2006. Padahal kami sudah membayar sebelumnya. Saya ada bukti kwitansi pembayaran pada 2009, tetapi bukti itu diabaikan," terang Septa.
Harga sewa yang mahal, kata Septa, tidak hanya menimpa dirinya, tetapi juga warga lain. Tarif uang sewa yang dikenakan berkisar antara Rp 70 - Rp 105 juta per tahun, suatu jumlah yang menurut warga sangat besar.
Septa menerangkan, sebenarnya pengosongan rumah yang ditempatinya itu sudah dilakukan pada 17 September 2014 lalu. Para petugas PT KAI sudah siap mengosongkan rumah tersebut. Tetapi pengosongan gagal karena masih ada kompromi.
"Kami sudah dua kali melakukan pertemuan dengan DPRD Surabaya, tetapi pihak PT KAI sama sekali tak datang," kata perempuan 32 tahun itu.
Septa dan para warga menduga jika pengosongan pada Selasa besok berhasil, maka rumah yang lain juga bakal mengalami nasib serupa. Menurut Septa, PT KAI sendiri mengklaim menguasai lahan berikut bangunan di atasnya seluas 416 ribu meter persegi. Di atas tanah seluas itu berdiri 700-900 bangunan dengan lebih dari seribu Kepala Keluarga (KK).
Aset yang diklaim milik PT KAI tersebut berdiri di atas sejumlah lokasi yang ada di Jalan Residen Sudirman, Kalasan, Pacar Keling, Gerbong, Prambanan, Tempak Siring, Jolotundo, Indrakila, Candisari, dan Candipuro.
"Jika jadi dikosongkan, kami akan melawan," tandas Septa.
Sementara Manajer Aset PT KAI Daops 8 Zainuri mengatakan jika kepastian pengosongan akan bisa diketahui,a Senin (17/11/2014) besok. Jika tidak ada yang menghalangi, PT KAI akan melakukan pengosongan di lahan beserta bangunan yang diklaim menjadi miliknya.
"Ini kan masalah uang sewa, kalau membayar uang sewa ya silakan menempati," ujar Zainuri saat dihubungi detikcom.
Zainuri menambahkan, uang sewa yang dikenakan memang besar karena lokasi tersebut sudah dialihfungsikan untuk kepentingan komersial, dalam hal ini dijadikan warung.
"Kan wajar kalau mahal karena dijadikan tempat komersial. Kalau yang hanya rumah saja ya jelas lebih murah," ujar Zainuri.
Zainuri menagtakan, bila para warga hendak mengadu ke anggota dewan, itu adalah hak para warga. Begitupun jika mereka bakal melakukan perlawanan pada hari pengosongan tersebut.
"Itu hak mereka. Bila anggota dewan bisa memberikan jalan keluar yang lebih bagus, itu lebih baik," tandas Zainuri.
(iwd/fat)