Kisruh dua pemerintahan daerah ini diawali dari Pemkab Sidoarjo yang merasa memiliki wilayah terminal do Jawa Timur. Sedangkan Pemkot Surabaya merasa keberadaan Terminal Purabaya merupakan objek pelayanan. Selama ini Pemkot Surabaya selalu memberikan bagi hasil 30 persen dari hasil pendapatan kotor Terminal Purabaya.
Bahkan Kepala Dinas Perhubungan Kota Surabaya, Eddi mengungkapkan jika selama ini Pemkot Surabaya selalu nombok untuk operasional Terminal Purabaya.
"Sebetulnya kalau operasional kita minus, operasioanl lebih besar lumayan juga. dia dapat uang nganggur. Masalahnya kan itu kan pelayanan bukan tempat cari duit," ungkap Eddi pada wartawan, Jumat (15/11/2014).
Harusnya, kata Eddi, Pemkab Sidoarjo menghitung dan melihat secara langsung multi effect keberadaan Terminal Purabaya yang berimbas tumbuhnya ekonomi masyarakat sekitar.
"Pedagang di sekitar Purabaya juga tummbuh, nah ini multi effect dari terminal kita. Mereka (Sidoarjo) harus ngitung. Kalau pendapatan kotor minta bagian, tidak melihat biaya operasional, tidak melihat biaya pengeluaran. Kita kan harus bayar listrik, air, sampah," ungkap Eddi.
Mantan Kepala UPT Terminal Purabaya ini mengaskan jika lahan yang digunakan Terminal Purabaya adalah aset Pemkot Surabaya. "Tanah itu kan milik Surabaya bukan milik dia. Kita beli kok, pemkot beli, tidak ada modal investasi sedikit pun dari Sidoarjo," ujar dia.
Oleh karena itu, Eddi kembali menegaskan jika pembagian yang selama ini diberikan Pemkot Surabaya pada Pemkab Sidoarjo harus dikaji ulang.
"Makanya kita stop begini, kita mengajak mereka untuk mereview tentang perjanjian itu. Dan dia harus menyadari itu pelayanan publik, sekarang kita juga tidak ada pungutan peron kan sudah dihapus sejak 2008. Tidak ada pemasukan kecuali dari parkir kemudian restribusi sewa kios. Kalau pajak makan minum masuk mereka semua dipungut mereka. Jadi menurut saya Sidoarjo harus memaklumi tidak terlalu menuntut itu," tandas Eddi.
(ze/bdh)