"Dampak penutupan pasti ada-lah. Kalau mau menutup, ya harus ada solusinya, jangan hanya jangka pendek saja, tapi harus dipikirkan jangka panjangnya," ujar Ipul seorang penjual makanan-minuman warung kopi di Jalan Jarak kepada detikcom, Senin (9/6/2014).
Ia mengatakan, jika pedagang yang terdampak hanya dijanjikan uang kompensasi sebesar Rp 5 juta, menurutnya itu bukan solusi yang tepat.
"Uang Rp 5 juta cukup sampai kapan. Harusnya pemerintah mempunyai konsep yang jelas dan untuk jangka panjang. Apakah ini (rencana penutupan lokalisasi) ambisi Risma (walikota) untuk dikenang sebelum masa jabatannya habis," cetusnya.
Ia menerangkan, ketika situasi normal di kawasan lokalisasi mendapat omset hingga Rp 1 juta sehari (24 jam). Namun, omsetnya mulai berkurang ketika razia sering dilakukan di kawasan lokasisasi, serta pemasangan CCTV yang tersebar di beberapa titik di kawasan Dolly-Jarak.
"Operasi dan CCTV saja sudah mulai berdampak. Pembeli jadi sepi, karena pembeli tidak mau dioperasi atau terekam CCTV. Omset menurun, menjadi sekitar Rp 500 ribu," ujarnya sambil menambahkan, jika Dolly dan Jarak ditutup, maka denyut perekonomian di kawasan tersebut menjadi mati.
"Contohnya saja, kalau pas bulan ramadan kan ditutup. Itu sudah terasa, jalanan di sini menjadi sepi," tuturnya sambil menambahkan, pada saat pemilihan presiden (pilpres) 9 Juli nanti tetap menggunakan haknya, tapi tidak akan memilih calon presiden yang diusung PDIP.
"Ya tetap memilih, karena negeri ini harus butuh pemimpin. Yang jelas duduk (bukan) PDIP. Katanya partainya wong cilik dan merakyat, nyatanya rakyat kecil malah sensara," tegasnya.
Sementara itu Agus, pedagang pakaian di dekat Pasar Kupang Gunung mengaku ikut membubuhkan tanda tangan, sebagai bentuk solidaritas terhadap nasib warga yang akan terdampak penutupan Lokalisasi Dolly-Jarak.
"Penutupan ini kan ada yang pro dan ada yang kontra. Saya ikut tandatangan sebagai bentuk solidaritas saja," kata Agus.
Disinggung tentang penggunaan haknya di Pilpres mendatang, Agus mengakui tidak ada kaitannya antara coblosan dengan penutupan lokalisasi.
Sementara itu Aveng, pedagang aksesoris dan pakaian itu mengaku bahwa pedagang yang masuk ke Front Pekerja Lokalisasi (FPL), tetap menolak rencana Pemkot Surabaya menutup lokalisasi.
"Kami tetap sepakat menolak penutupan Dolly-Jarak. Kalau pemerintah tetap bersikukuh, kami warga di sini akan golput. Dan seluruh RW juga sudah sepakat tidak akan mendirikan TPS," tegasnya.
Setelah berkeliling mengajak pedagang di Pasar Kupang Gunung dab beberapa pedagang di kawasan lokalisasi Dolly-Jarak, untuk membubuhkan tanda tangan, puluhan orang yang berseragam kaos warna hitam bertuliskan FPL juga mengajak warga yang berada di pinggir jalan di kawasan Jarak-Dolly.
3 Lembar kain warna putih sepanjang total 10 meter yang bertuliskan 'Batalkan penutupan Dolly-Jarak atau Tolak Pemilu 2014', dipenuhi tanda tangan pedagang hingga warga.
"Yang tanda tangan jumlahnya bisa lebih dari 1.000 orang. Tanda tangan ini akan kita serahkan ke pemkot, sebagai bahan. Pemerintah untuk membatalkan penutupan Dolly-Jarak," tandasnya.
(roi/fat)