Makin lama, bunyi itupun makin riuh. Bahkan suara kokok ayam yang semula masih terdengar sayup-sayup kini tenggelam ditelan keramaian. Tak terasa mentari mulai menyembul dari balik bukit batu setinggi 100-an meter. Sinarnya menebar kehangatan dan menepis kabut yang menutup seluruh bagian bukit.
Samar-samar terlihat puluhan pria membungkukkan badan. Tubuh mereka yang kekar meliuk-liuk melayangkan palu seberat 8 kilogram. Sasarannya logam pipih berujung lancip yang menancap pada bongkahan batu raksasa. Begitulah para pria perkasa menyambut pagi, berharap rezeki dari bongkahan batu yang mereka hasilkan hari ini.
"Awalnya saya juga bingung wong batu sekeras itu kok bisa dipotong-potong dan dibentuk," ucap Misno (45), salah seorang warga sambil menenteng palu dan pacal (sebutan alat pemahat batu) menuju Bukit Watukudi yang berjarak 200 meter dari rumahnya tengah pekan lalu..
Melihat dari dekat, apa yang dilakukan Misno dan rekan-rekannya terasa musykil. Untuk memecah gunung batu, mereka hanya bermodalkan pacal. Apalagi jenis batu yang mereka tambang tergolong keras. Namun, pengalaman selama puluhan tahun bergumul dengan topografi alam setempat membuat mereka terasah.
Kuncinya adalah kesabaran dan sikap telaten. Tanpa itu, bisa jadi pecahan yang dihasilkan tak beraturan. Atau bahkan batu yang hendak dibentuk justru hancur berkeping-keping.
"Harus sabar dan jeli mas. Kalau salah melubangi alur, pecahannya bisa kemana-mana," terang Paeran (35) penambang lain. Sesaat dia melepas topi kusam yang menempel kepalanya lantas meraih botol bekas air mineral berisi air untuk diminum.
Setelah memastikan alur potongan sesuai yang diinginkan, barulah proses pemecahan dilakukan. Caranya dengan memukul tiap titik pacal dengan palu besar. Jika nasib mujur, hanya dengan beberapa kali pukulan batu sudah pecah. Yang justru berat adalah memindahkan bongkahan batu menuju ke tanah lapang di bawah bukit. Mereka pun melakukannya secara bergotong-royong dengan menggunakan pengungkit kayu dan besi.
"Siji, loro, telu," teriak mereka serempak sambil terus mengungkit bongkahan batu.
Menurut bapak 1 anak yang lama tinggal di Surabaya itu, usaha penambangan batu sudah ada sejak nenek moyang mereka. Tak ada yang tahu pasti kapan tepatnya. Yang dia ingat, sejak dirinya masih kanak-kanak hingga sekarang Gunung Watukudi seakan menjadi sumber kehidupan nan tak kunjung habis. Padahal, tiap harinya selalu ada potongan batu yang diangkut ke luar kota atau dimanfaatkan warga sendiri untuk bahan baku kerajinan.
Ukuran potongan batu yang dihasilkan sangat tergantung kebutuhan. Jika hendak digunakan bahan baku tungku, potongan yang dihasilkan harus berbentuk kubus. Ukurannya sekitar 40 x 50 sentimeter atau sedikit lebih besar ketimbang tungku jadi.
"Karena masih harus dibentuk dan dihaluskan lagi," tambah Misno terkait ukuran bahan baku yang lebih besar daripada produk jadi.
Demikian pula untuk bahan baku pot. Bedanya, potongan untuk bahan pot bentuknya bulat pipih, mirip cakram berdiameter 1 meter. Perlakuan berbeda harus diterapkan untuk komoditas yang akan dijadikan bahan baku patung. Potongannya dibentuk balok persegi panjang dengan panjang 4 meter dan lebar 1 meter.
Bahan setengah jadi itu biasanya dikirim kepada pengrajin patung di Mojokerto. Warga tak perlu repot, sebab berapapun bahan yang mereka hasilkan pengusaha siap membelinya tanpa harus membebani penambang dengan biaya angkut.
"Awal pertama hanya bikin pawon (tungku). Terus ada orang dari Mojokerto coba-boba mungkin bisa dibuat patung. Akhirnya ya bisa masuk sampai sekarang," papar Paeran.
Untuk menghasilkan 1 batang bahan patung diperlukan waktu 1 minggu. Pengerjaannya rata-rata dilakukan 3 orang. Per batangnya dijual seharga Rp 900 ribu. Memang pendapatan mereka kelewat kecil jika dibanding tenaga yang dikeluarkan serta risiko yang dihadapi. Tetapi toh warga Watukudi tetap melakukannya. Mereka berdalih, itu masih lebih baik daripada bekerja di sektor lain yang belum menentu hasilnya.
"Daripada kerja ikut orang dan belum tentu ada hasil, ya mending menekuni kerjaan ini. Kan masih bisa diselingi bertani," imbuh Paeran yang juga memiliki beberapa ekor kambing di rumah.
Matahari tepat berada di atas kepala. Tak terasa setengah hari sudah mereka berjibaku dengan kerasnya Bukit Watukudi. Sebagian penambang tampak meninggalkan lokasi menuju gubug di lereng gunung yang lain.
Beberapa bungkus makanan lengkap dengan teko dan gelas tampak berjajar di atas tatakan bambu. Makanan dan minuman itu dikirim oleh istri dan keluarga mereka. Tubuhnya masih bermandikan keringat, tapi rasa lapar membuat mereka tak tahan segera menyantap menu rumahan.
Semua penambang berhenti bekerja, kecuali Misno, Paeran dan Misdi. Mereka tak beranjak dari sisi batangan batu di tengah tanah lapang meski saat istirahat tiba. Dari kejauhan tampak truk berwarna merah menuju ke tempat mereka berada.
Kendaraan tersebut siap mengangkut hasil tambang mereka. Hari itu memang saat yang dijanjikan oleh pembeli untuk mengambil batu milik mereka bertiga sekaligus melunasinya. Jerih payah segera terbayar dengan rupiah.
"Lumayan akhirnya dapat bayaran," celetuk Misdi sambil terkekeh lantas mengajak Misno dan Paeran menyusul rekannya yang lebih dulu rehat makan siang.
(iwd/iwd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini