Perusahaan tersebut dibentuk pemerintah Republik Indonesia era Presiden Soekarno untuk menasionalisasi aset-aset Minyak dan Gas (Migas) yang sempat dikelola asing.
Selanjutnya lapangan Kawengan berganti-ganti pengelola. Diantaranya Perusahaan Perminyakan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (PPTMGB), Lembaga Minyak dan Gas (LEMIGAS), PPT Migas dan selanjutnya di ambil alih Pertamina pada tahun 1988 hingga sampai sekarang.
"Desa Banyuurip benar-benar menjadi desa yang ramai, banyak warga yang ikut bekerja di perminyakan. Lampu-lampu menerangi semua jalan dan sudut desa. Saat malam pun masih banyak yang beraktivitas," ungkap Tetua Desa Banyuurip, Sudarno (63), mengenang kejayaan Desa Banyuurip, sebagai sentral lapangan Kawengan kepada detikcom, Kamis (23/10/2013).
Sayang kejayaan lapangan Kawengan yang kini dikelola Petamina EP (Eksplorasi-Produksi) itu mulai pudar. Keberadaan industri minyak kini tak dapat dirasakan warga sekitar sebagai berkah. sehingga kerap terjadi gesekan antara pekerja dengan masyarakat sekitar.
"Sekarang orangnya muda-muda, pendidikan tinggi, tapi entah kenapa kok tidak bisa berbaur dengan masyarakat seperti dulu," keluh Sudarno.
Lebih dari itu, Desa Banyuurip yang pernah menjadi sentral produksi minyak kini hanya menyisakan kebisingan. Banyak pemuda desa yang lebih memilih merantau dan bekerja di kota besar. Karena tidak kebagian pekerjaan di tanah kelahirannya sendiri.
"Dulu bekerja mudah, ada sistem Jawilan (borongan) untuk memperbaiki sumur yang rusak, kalau sekarang terlalu banyak persyaratannya," terangnya.
Berdasarkan data, Jumlah penduduk Desa Banyuurip ada 2.463 jiwa, dengan rincian 1.180 laki-laki dan 1.283 perempuan. Namun yang bekerja di pengelolaan minyak hanya sekitar 30 orang.
"Yang mempunyai status pekerja tetap hanya 1 orang saja, lainnya masih kontrak," jelas Sekretaris Desa (Sekdes) Banyuurip, Abdul Haris, kepada wartawan.
Abdul Haris menerangkan bahwa desa yang dipimpinnya saat ini sangat membutuhkan perbaikan infrastruktur. Menurut dia, pertamina EP sebagai operator lapangan minyak setempat belum pernah memberikan bantuan atau intensif infrastruktur secara penuh.
"Kalau misal kita butuh dana 60 juta untuk buat tempat ibadah, kita hanya disumbang sebanyak Rp 5 juta saja," keluhnya Haris.
Lapangan minyak Kawengan dan Desa Banyuurip menyimpan sejarah kelam penjajahan kolonial Belanda. Lebih dari itu, kedua tempat itu mempunyai peranan penting dalam sejarah perminyakan nasional.
lapangan Kawengan, sebagai penunjang kilang Cepu, yang dibangun tahun 1894 merupakan salah satu sumur tua setelah kilang Wonokromo. Sementara Desa Banyuurip merupakan sentral pengelolaan lapangan Kawengan dimasa penjajahan.
(fat/fat)