Karodengan, Ritual Adat Penciptaan Manusia Secara Berpasangan

Karodengan, Ritual Adat Penciptaan Manusia Secara Berpasangan

- detikNews
Senin, 21 Okt 2013 15:09 WIB
Probolinggo - Bagi masyarakat Bromo Tengger, hari raya Karodengan memiliki makna penting dalam relasi kausalitas jagad. Suku Tengger menganggap, Karodengan sebagai bulan kedua di tahun saka adalah awal penciptaan jagad raya beserta isinya. Pelaksanaan hari raya yang akrab disebut karo itu oleh masyarakat suku Bromo Tengger dimulai dengan ritual upacara adat selama sebulan lebih.

Hubungan dengan alam semesta dan penciptanya inilah yang menjadi pesan filosofis pelaksanaan hari raya Karo. Puncak peringatannya adalah ritual Sodoran yang menggambarkan penciptaan benih bopo laki-laki dan babu wanita.

Ritual Sodoran pada Tahun Saka 1934 ini dilaksanakan di Desa Wonotoro, Kecamatan Sukapura, Probolinggo. Layaknya sebuah prosesi pernikahan suku Jawa, rombongan pemelai (mempelai) laki-laki diarak menuju pelaminan. Para pengawalnya berbaju adat, membawa sesaji dan pusaka keramat Tengger berusia ratusan tahun dengan diiringi musik gamelan khas suku Tengger.

Ritual kemudian dilanjutkan upacara menyucikan pusaka Tengger menggunakan air kelapa muda yang disimbolkan sebagai air kehidupan. Pusaka-pusaka Tengger berupa gayung, tanduk banteng, dan tombak atau Sodor berusia ratusan tahun. Dalam prosesi pemandian pusaka itu, tetua adat atau sesepuh Tengger membacakan mantera.

Setelah prosesi penyucian pusaka selesai, ritual dilanjutkan dengan tarian Sodoran. Beberapa orang dari dua desa yang terlibat dalam hari raya Karo, menari berlenggak lenggok sambil mengacungkan pusaka Tanduk Banteng. Dalam beberapa putaran menari, pusaka Tanduk Banteng diganti dengan Tombak Pusaka. Klimaks dari tarian Sodoran adalah penampilan rombongan kedua pemelai.

Menurut Dukun Pandita (tetua adat) Suku Tengger Supoyo, seluruh rangkaian ritual itu menggambarkan penciptaan benih bopo laki-laki, dan babu wanita oleh Sang Hyang Widi di jagad raya.

"Tradisi Sodoran ini merupakan warisan budaya leluhur, mengisahkan penciptaan manusia secara berpasangan," terang Supoyo.

Tradisi itu, lanjut Supoyo, sudah berlangsung sejak tahun 1790. Yang terlibat tidak hanya para lelaki tapi juga perempuan dan anak-anak. Bagi ibu-ibu rumah tangga, mereka berpakaian adat dan membawa makanan atau Ater Lawuh. Makanan yang dibawa ada 4 macam itu kemudian diberikan kepada suami dan anak-anaknya sebagai simbol harmonisasi.

Ritual Karo itu pun menjadi daya tarik bagi wisatawan manca negara dan domestik yang datang ke Bromo. Banyak dari para wisatawan mengabadikan ritual adat tersebut menggunakan kamera.

(iwd/iwd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya
Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.