Tayub merupakan tari pergaulan yang disajikan untuk menjalin hubungan sosial masyarakat. Sebab, pagelaran seni ini biasanya digelar pada saat acara seperti sedekah bumi atau hajatan.
Waktu pentas Tayun sendiri umumnya dimulai pada malam hari dan berakhir menjelang pagi.
Untuk bisa menjadi bagian kesenian Langen Tayub ini ternyata juga tidak mudah, karena memerlukan kemampuan dan kemahiran tersendiri.
Dalam satu kelompok tayub selalu terdapat sinden, penata gamelan, serta penari wanita atau biasa disebut waranggono, dan seorang pramugari yang memimpin jalannya pagelaran tayub.
Di Kabupaten Bojonegoro, saat ini masih terdapat 28 kelompok karawitan yang biasa mengiringi jalannya tari langen tayub. Untuk pramugari atau pemandu jalannya tayuban ada 28 orang jumlahnya. Sedangkan untuk penari wanita atau biasa dikenal dengan Waranggono berjumlah sekitar 55 orang yang tersebar di beberapa kecamatan yang ada di Bojonegoro.
"Jumlah ini adalah mereka yang masih menjalani profesinya hingga saat ini. Terkadang bisa bertambah bisa juga kurang, karena beberapa faktor. Tapi yang utama adalah faktor usia," kata Gentho, salah satu pramugari asal Desa Dander kepada detikcom, Senin (23/9/2013).
Mengangkat Harkat Penyewa Tayub
Foto: Ainur Rofiq
|
Salah satu penyebabnya, dengan menggelar langen tayub, maka akan dapat mengangkat harkat dan martabat tuan rumah. Pasalnya, untuk menyewa kelompok langen tayub membutuhkan dana yang cukup besar. Minimal biaya yang harus dikeluarkan untuk satu kali kegiatan sebesar Rp 15 juta.
Angka tersebut akan bisa bertambah, jika waranggono atau sindir yang diinginkan oleh yang punya hajat, adalah mereka yang sudah terkenal atau punya nama di kalangan penggemar tayub.
Tarif Waranggono Rp 2-3 Juta Sekali Pentas
Honor waranggoni ini sekali pentas Rp 2-3 juta/A Rofiq
|
Menjalani kehidupan malam di luar rumah berbaur dengan para pria mabuk yang asyik menari dan berjoget, menjadi resiko paling berat yang kerap dialami oleh seorang waranggono.
Seperti halnya Eliya Khasaroh (35). Salah satu waranggono yang cukup terkenal di Kabupaten Bojonegoro ini tak membantah dengan risiko yang dihadapi sebagai penari tayub.
Namun ibu beranak 3 yang sudah 13 tahun menjadi waranggono ini juga tak juga membantah jika mendapat uang banyak untuk sekali pentas. Banderol yang ia pasang untuk sekali pentas di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban sebesar Rp 2-3 juta.
Setiap bulan di saat musim orang punya hajat, Eliya yang tinggal di Desa Kalitidu ini pasti akan kebanjiran job pentas. "Setiap bulan saya bisa 20 hingga 25 kali pentas setiap malamnya. Kalau capek pasti. Karena itu risiko kerja," tutur Eliya, kepada detikcom. Senin (23/9/2013).
Pemkab Bojonegoro Beri Fasilitasi Kelompok Seni Tayub
|
"Kita hanya bisa memberikan fasilitas ruang dan peralatan karawitan. Tetapi rencananya akan kita gagas adanya pertemuan rutin nantinya dengan para seniman yang berada di Bojonegoro," kata Suyanto, Kasi Pengembangan dan Pelestarian Budaya Disbudpar Bojonegoro, kepada detikcom, Senin (23/9/2013).
Meski digempur dengan hiburan dan kesenian modern, langen tayub ternyata masih tetap eksis. Bahkan, kesenian Jawa yang digemari kaum tua ini makin hari, semakin digemari oleh masyarakat khususnya di kalangan pedesaan.
Tayub merupakan tari pergaulan yang disajikan untuk menjalin hubungan sosial masyarakat. Sebab, pagelaran seni ini biasanya digelar pada saat acara seperti sedekah bumi atau hajatan.
Halaman 2 dari 4
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini