Modalnya hanya sebuah ember dan pengungkit besi mirip obeng. Untuk melindungi tapak kaki dari tajamnya karang mereka mengenakan sandal maupun sepatu karet.
"Ini sudah tradisi turun temurun," kata Sutrisno (53) warga setempat sambil membungkuk mengambil sesuatu yang melekat kuat di balik ceruk karang.
Sesaat kemudian tangan lelaki berkulit legam itu mengarah ke ember yang tergantung di tangan kirinya. Sebiji benda bercangkang dijatuhkan ke dalamnya hingga menciptakan bunyi benturan kecil. Tak sampai setengah jam, ember kecil bekas wadah cat tembok 1 literan seperempat bagiannya sudah terisi aneka bentuk dengan warna hitam kecoklatan.
"Orang sini menyebutnya usal," papar pria bermata pencaharian nelayan tersebut kepada detiksurabaya.com.
Bagi ratusan kepala keluarga Dusun Umbulharjo dan Ketro, mencari kerang saat air surut menjadi bagian dari kehidupan. Untuk memastikan permukaan air menyusut dan aman dijamah, mereka hanya berpatokan penanggalan Jawa. Dapat dipastikan 2 kali dalam sebulan fenomena alam itu terjadi. Yaitu tanggal muda dan bulan purnama.
Jika alam bersahabat mereka biasanya turun ke laut hingga 2 kali sehari. Mereka mulai menyisir pantai sekitar pukul 02.00 WIB dinihari dan baru naik ke daratan saat air laut pasang sekitar pukul 06.00 WIB pagi harinya. Mereka mengulang aktivitas yang sama ketika air mulai surut pada pukul 15.00 WIB hingga selepas maghrib.
Kendati sekedar sambilan, namun hasil tangkapan yang mereka bawa pulang diakui menjadi penopang kebutuhan lauk sehari-hari. Sentuhan tangan-tangan terampil para perempuan kampung nelayan mampu menyulap protensi bahari itu menjadi menu bercita rasa tinggi. Sebut saja siput goreng kering disajikan dengan sambal, siput kuah bumbu pedas atau pepes siput kenyal. Semua dijamin membangkitkan selera.
"Kalau dapatnya banyak kadang sampai dijual," kata Sri Winarsih (33) warga lain yang menenteng ember warna biru.
Mengolah kerang menjadi makanan siap saji, ujar ibu 2 anak ini, dibutuhkan kejelian. Apalagi, jenis kerang yang mereka dapatkan beragam. Bahkan jika nasib mujur, mereka acap kali mendapat makhluk laut lain, semisal gurita atau cumi-cumi. Salah-salah, dapat melukai tangan orang yang memasaknya.
"Kalau yang siput biasa cukup dipecah cangkangnya terus dibersihkan. Tapi kalau yang seperti ini harus lebih hati-hati," katanya tersenyum sambil menunjukkan landak laut sebesar buah kedondong.
Hari itu, panen siput cukup melimpah. Setidaknya, hal itu tergambar dari ember-ember yang tak lagi gontai saat dibawa pulang pemiliknya. Malahan, sebagian nyaris penuh dengan siput beragam jenis dan ukuran.
Mereka akan kembali berbondong-bondong beradu untung mengais rejeki di antara kekayaan hayati Samudera Indonesia saat air kembali surut.
(fat/fat)