Situs itu berupa bangunan tembok berbentuk segitiga dengan panjang tiap sisinya mencapai 150 meter. Sebagian tembok yang memiliki ketebalan hingga 1,5 meter dengan tinggi 4-5 meter itu kini masih banyak yang terpendam dan sebagian lagi banyak rusak karena tidak terawat.
"Dilihat dari struktur bangunan dan lokasinya, kami optimis tembok itu bekas benteng pertahanan Belanda atau yang biasa disebut dengan De Fortres Van Pannaroekan. Ukuran batanya juga lebih besar dari batu bata era sekarang. Tapi kami masih perlu mendatangkan tim ahli dari Trowulan untuk melakukan penelitian. Yang pasti ini situs bersejarah dan harus dilestarikan," kata Firman Herlambang kepada detikSurabaya.com, Selasa (13/11/2012).
Menurut aktivis pemerhati cagar budaya Situbondo, banyak fakta sejarah yang menguatkan dugaan tembok itu adalah De Fortres Van Pannaroekan. Di antaranya, adanya bekas bangunan menara berbentuk anak panah di tiap penjuru benteng.
Dua menara itu sangat mungkin digunakan memantau kelancaran aktivitas perdagangan di Pelabuhan Panarukan. Dan satu menara lagi mengawasi masuknya para penjahat dari arah jalan raya Deandels.
"Pengawasan perlu dilakukan karena dulunya pelabuhan panarukan menjadi pusat mengiriman rempah-rempah ke daerah luar. Jadi, sangat mungkin di atas menara itu dulunya juga dilengkapi dengan senjata meriam. Tapi karena tidak dirawat, sekarang menara tinggal pondasinya yang berbentuk anak panah dan senjatanya juga sudah tidak ada," sambung Firman.
Firman memperkirakan tembok benteng itu dibangun pada era 1850-an atau setelah pembuatan desk aliran Kali Sampean oleh bupati pertama Raden Ario Prawiro Adiningrat, pada tahun 1832. Sebab, di aliran sungai sisi timur benteng pernah ditemukan sebuah cagak kayu jati diduga digunakan pemancang tali kapal. Selain itu, ujung tembok yang berbentuk segitiga itu juga berada di sisi sungai.
Firman mengaku baru menemukan situs sejarah ini setelah diberi tahu warga. Padahal, warga sekitar mengetahui keberadaan bangunan tembok tersebut sudah cukup lama.
"Kalau tembok ini sudah lama, pak. Warga hanya menyebut kalau wilayah sekitar tembok ini dulunya sebagai loji atau perumahan Belanda," tutur Arifin (49), warga setempat.
Pantauan detikSurabaya.com, bangunan tembok itu kondisinya tidak terawat hingga banyak ditumbuhi rumput dan ilalang. Warga yang penasaran sempat melakukan penggalian di sisi tembok hingga ketinggian benteng itu terlihat mencapai 4-5 meter.
Sementara di sisi lain, bagian bawah benteng terpendam tanah pemakaman dan hanya menyisakan ketinggian tembok 1-2 meter saja. Malahan di sisi selatan dan utara tembok benteng sudah tidak terlihat lagi. Tiap sudut tembok yang disebut-sebuh pernah ada menara kini hanya tampak bagian pondasinya saja yang berbentuk anak panah. Kondisi bangunan tembok itu juga banyak yang rusak dan mengelupas hingga susunan batu batanya banyak yang hilang.
"Kalau batu bata bagian atas tembok yang diambil, biasanya akan hancur. Tapi kalau bagian bawah dan runtuh maka batu bata bisa utuh seperti ini. Lebar batu bata ini mencapai 16 cm dan panjang 32 cm. Bagian pinggirnya juga dicetak agak miring," sambung Arifin.
Beberapa tahun lalu tim peneliti dari UGM konon pernah datang ke lokasi tersebut untuk melakukan penelitian. Disebut-sebut, tim menengarai tembok itu sisa dari sejarah berdirinya kantor Kadipaten di Panarukan. Namun, Firman Herlambang meragukan hasil penelitian tersebut.
Diantaranya, karena konstruksi bangunan tidak mirip dengan kantor. Salah satunya, sisa tembok itu berbentuk segi tiga dengan ketebalan tembok mencapai 1,5 meteran.
"Selain itu, di manapun kantor kadipaten ciri-cirinya selalu dilengkapi dengan Alun-alun dan Masjid. Sementara di sekitar tembok itu tidak ada. Makanya, kami masih perlu mendatangkan tim ahli dari Trowulan untuk meneliti situs bersejarah ini," pungkas Firman Herlambang.
(fat/fat)