Kedua pasang sapi karapan ini tidak sama besarnya. Yang sepasang berjuluk 'Raja Tega' berusia 1,5 tahunan. Raja Tega telah mengikuti berbagai kompetisi karapan di berbagai kota di Jawa Timur, termasuk di Lumajang. Bahkan Raja Tega telah beberapa kali menjadi jawara di kejuraan yang diikutinya.
"Raja Tega memang pernah beberapa kali menyabet juara yang digelar di Lumajang dan di Probolinggo," kata Edi Saputro (33), pemilik sapi karapan ini kepada detiksurabaya.com, Jumat (19/8/2011).
Sementara sepasang sapi lainnya berjuluk 'Si Kancil' yang usianya baru menginjak 5 bulan. Posturnya kecil dan baru dilatih oleh pemiliknya sebagai persiapan lomba karapan sapi untuk kategori sapi kecil.
"Si Kancil ini baru saya beli. Masih dalam tahapan dilatih untuk lomba kelas kecil," sambung Edi yang ditemui bersama dengan Juhari, partnernya.
"Daripada tidak ada pekerjaan di rumah, lebih baik melatih sapi-sapi ini. Karena, latihan ini memang harus rutin, biar kecepatan larinya teruji. Kalau ditinggal malas-malasan di rumah, ya tidak ada hasilnya. Paling tidak, sambil menunggu waktu berbuka puasa," ucap Edi sembari tersenyum.
Warga Desa Boreng ini mengaku kesempatan melatih dua pasang sapi karapan miliknya memang lebih intensif dilakukan saat Bulan Ramadhan ini. Sebab, di bulan puasa ini tidak ada satupun perlombaan karapan sapi yang digelar.
"Selama puasa, perlombaan memang tidak ada. Makanya, ada kesempatan untuk melatih sapi-sapi ini. Kalau bulan biasa, setiap minggu bisa ada dua kejuaraan yang rutin kami ikuti di berbagai kota," bebernya.
Kegetolan Edi mengikuti lomba karapan sapi ini, selain berharap keuntungan material dengan terdongkraknya harga sapi hingga berharga ratusan juta rupiah perekor jika menjadi jawara, juga atas alasan gengsi.
Padahal untuk biaya perawatan, bisa dibilang tidak murah. Untuk pakan rutin dan suplemen pendongrak energi dan berbagai ramuan minumen energi dikombinasikan obat-obatan lainnya, setiap ekor sapi berukuran besar bisa mengeluarkan biaya sampai Rp 50 ribu perharinya.
Sementara, untuk sapi berukuran kecil, biaya rutin harian mencapai Rp 30 ribu perekornya.
"Itu untuk pakan, yakni daun lamtoro dan daun-daunan lainnya yang saya pesan melalui tetangga desa. Selain itu, untuk membeli minuman energi, telor dan obat-obatan seperti pil yang harus rutin dikosumsi sapi-sapi ini," terang Edi.
Belum lagi jika perlombaan digelar, yang memaksa Edi Saputro terpaksa merogoh kocek lebih dalam lagi. "Setiap hendak berlomba, persiapan dilakukan sejak beberapa hari sebelumnya. Kebutuhan biayanya besar. Paling tidak, untuk satu pasang mengeluarkan Rp 3 juta sampai lomba," ungkapnya.
Biaya itu, kata Edi, dipergunakan untuk membeli 900 butir telor untuk setiap ekor sapi, minumen energi, pakan spesial dari daun-daunan khusus obat-obatan dan lain-lain.
"Joki saja harus membayar Rp 70 ribu. Belum lagi biaya angkutan dan pengiringnya. Jika jadi juara, hadiah yang dibawa pulang tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. Hadiahnya kadang sapi kecil seharga Rp 1,5 juta. Bisa dibilang kami ini untuk sementara rugi," tandasnya.
Namun, Edi Saputro punya harapan untuk kemenangan yang diraih sapi-sapi miliknya Denganmenang maka harga sapi bisa terongkrak. Tujuan utamanya, sapi-sapi miliknya bisa bertanding di perlombaan tingkat nasional yang rutin di gelar di Madura. Jika memenangkan lomba tingkat nasional di Pulau Garam tersebut, harga sapi bisa mencapai Rp 250 juta perekornya.
"Tapi sapi saya ini masih kelas regional. Baru dua kali menang. Tapi, harganya sudah lumayan. Raja Tega ini yang seekor sudah ditawar Rp. 30 juta dan seekor lagi ditawar Rp 25 juta. Tapi, tidak saya berikan, karena saya berharap bisa terus berkompetisi sampai di tingkat nasional di Madura," pungkas Edi.
(iwd/fat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini