Ojung merupakan tradisi turun temurun yang dilestarikan warga. Ojung itu berupa dua orang yang mengadu kekuatan fisik dan kekebalan dengan cara saling pukul memakai rotan di lapangan berukuran 3x3 meter. Aturan mainnya, keduanya bebas memukul kecuali kepala dan paha hingga betis.
Konon, tempo dulu tradisi Ojung sebagai ritual untuk meminta hujan dan bentuk syukur terhadap hasil bumi. Namun dalam perkembangannya, Ojung juga dijadikan media untuk tolak balak bencana dan selamatan desa. Peserta Ojung tersebut juga diikuti oleh kalangan muda yang mempunyai nyali lebih.
Siapapun yang hadir dalam acara tersebut bebas mencari pasangan untuk ikut jadi peserta Ojung. Para peserta diwajibkan memakai baju dari karung goni dan bagian kepala juga ditutup guna menjaga pukulan rotan menyasar. Meski memakai karung, tidak sedikit peserta Ojung yang mengalami luka serius di bagian tubuh belakang.
Tak ada balas dendam bagi peserta Ojung. Mereka hanya saling pukul dengan sekuat tenaga dalam 3 ronde. Setiap ronde diberi waktu 2 menit untuk menghajar lawan. Dalam pertandingan yang tidak ada istilah pemenang maupun peserta, yang kalah diatur oleh seorang penengah (wasit) dari tokoh masyarakat berpengaruh. Usai mengikuti Ojung mereka kembali sebagai saudara dan sahabat.
Salah seorang penengah (Wasit), Misnayu (41) warga Slopeng, Kecamatan Dasuk, Sumenep, mengatakan jika tradisi Ojung masih digemari warga. Selain pesertanya datang dari berbagai pelosok desa, banyak yang ingin mengikuti Ojung yang tergolong langka dan ekstrim.
"Yang tidak biasa menyaksikan tradisi Ojung, banyak yang ketakutan dan merasa kasian. Sebab, bunyi pukulan rotan saat menyentuh bagian tubuh bunyinya sangat nyaring," kata Misnayu kepada detiksurabaya.com di arena Ojung, Desa Bunbarat, Kecamatan Rubaru, Sumenep, Sabtu (17/1/2009).
Rotan yang dijadikan alat untuk memukul, kata dia, dibuat khusus dengan ukuran panjang 0,5 meter. Ada 3 buah rotan yang diikat jadi satu dan di ujungnya sengaja dibuat pentolan bergigi. Sehingga, saat menyentuh di tubuh bakal luka jika peserta Ojung tidak mempunyai kekebalan khusus.
"Makanya, dalam pelaksanaan Ojung itu tidak ada istilah kalah atau menang. Yang jadi perhatian penonton yakni jurus khas dan jurus bertahan atau menangkis pukulan lawan," terangnya.
Salah seorang peserta Ojung, Bujamin (40) warga Desa Bunbarat, Kecamatan Rubaru, Sumenep mengaku sudah biasa mengikuti pelaksanaan Ojung. "Saya sudah biasa menjadi peserta Ojung. Kalau sakit pasti terasa tapi hanya sebentar. Setelah main sudah tidak terasa," kata Bujamin usai bertanding.
Sementara Kepala Dusun Mambang Desa Bunbarat, Kecamatan Rubaru, Sumenep, Moh Alwi mengatakan, pelaksanaan Ojung ini risikonya sangat besar. Sebab, bila peserta tidak mampu menahan pukulan dari lawannya tubuhnya bisa ambruk di arena. Selain itu, juga bisa ada insiden kecil-kecilan dari pengunjung.
"Tapi, masalah itu tetap bisa teratasi. Sebab, tujuannya untuk tolak balak dan selamatan desa," tegas Alwi kepada detiksurabaya.com di arena Ojung.
Pagelaran Ojung, tambahnya, digelar tiap tahun sekali setelah tanam padi. Sebab, saat menjelang panen banyak bencana alam yang terjadi seperti saat ini. (fat/fat)