Geger Siasat Sianida Dukun Magelang, Sosiolog Soroti Budaya Paternalistik

Eko Susanto - detikNews
Rabu, 24 Nov 2021 17:54 WIB
Sosiolog Universitas Muhammadiyah Magelang Kanthi Pamungkas Sari (Foto: Eko Susanto/detikcom)
Magelang -

Empat orang tewas diracun sianida seorang dukun pengganda uang di Magelang, IS (57). Fenomena mendatangi dukun untuk minta bantuan ini disebut sosiolog sebagai salah satu budaya paternalistik.

Sosiolog Universitas Muhammadiyah Magelang (Unimma) Kanthi Pamungkas Sari, mengungkap perilaku keempat korban mendatangi dukung karena dipicu beberapa faktor. Salah satunya perkara ekonomi.

"Jadi jelas situasi yang didukung dengan ketiga hal, ekonomi, budaya paternalistik sama sistem sosial," kata Kanthi saat ditemui di Kampus 2 Unimma, Jalan Mayjend Bambang Soegeng KM 5 Mertoyudan Magelang, Rabu (24/11/2021).

Kanthi menyebut dukun merupakan sosok yang dipercaya mampu menolong maupun mengobati orang lain. Tak heran masih banyak masyarakat yang percaya dengan kemampuan dukun karena dinilai memiliki kekuatan gaib atau mistis.

"Dukun itu biasanya arahnya ke sana. Jadi di Indonesia itu, ya dari dulu sampai sekarang orang yang dianggap sebagai dukun adalah ya seperti itu. Orang yang bisa dipercaya bisa menolong, bisa membantu, bisa memberi jampi-jampi dan itu dari dulu sampai sekarang masih tetap berlangsung," ujarnya.

Menurut Kanthi, dengan alasan itu masih ada masyarakat yang percaya dengan keberadaan dukun pengganda uang seperti IS. Dia pun menyinggung soal dampak pandemi COVID terhadap ekonomi masyarakat.

"Yang pertama berhubungan dengan situasi sekarang ini kan pandemi atau mungkin efek dari pandemi. Orang merasa terpuruk secara ekonomi atau merasa tidak berdaya secara ekonomi dan orang-orang yang seperti itu ingin bangkit kemudian bagi sebagian masyarakat yang kurang atau belum mampu berpikir kritis maka akan berusaha dengan cara-cara yang irasional, yang instan untuk menyelesaikan masalahnya," terang Kanthi.

"Maka ditempuhnya dengan cara-cara pergi ke dukun atau mungkin dengan cara menurut dia itu bisa menyelesaikan masalahnya," sambung dia.

Dia lalu menyinggung soal paternalisme atau sistem kepemimpinan yang berdasarkan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin.

"Kemudian yang kedua adanya budaya paternalistik. Budaya paternalistik ini adalah banyak dari masyarakat kita yang kalau ketemu orang yang berdarah biru, kemudian orang yang kharismatik, orang yang dianggap mempunyai kekuatan atau kemampuan tertentu dengan menunjukkan sedikit keterampilan atau kesaktiannya mereka sudah percaya begitu saja," tuturnya.

Kanthi pun menyoroti kurangnya kontrol sosial terkait maraknya fenomena masyarakat yang merasa kesusahan mendatangi dukun. Dia pun menyoroti peran tokoh masyarakat dan agama dalam pendidikan masyarakat terkait hal ini.

"Ada fenomena seperti itu biasanya ada kecenderungan belum mampu berfungsi sebagai kontrol yang baik. Artinya bahwa sistem sosial itu kan terdiri dari unsur-unsur ada tokoh masyarakat, tokoh agama, kemudian juga banyak orang-orang pengusaha dan sebagainya. Kalau sistem itu menuju pada tujuan bersama, kesejahteraan, terus ketertiban dan seterusnya," urai dia.

"Nah ketika ada warganya yang mengalami kesulitan sampai tidak konangan (ketahuan) berarti belum mampu menjadi pengontrol yang baik," tutur Kanthi.

Selengkapnya di halaman berikut...




(ams/sip)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork