Gara-gara itu, Sayoko mengaku dipanggil ke Koramil, dan diminta mendengar Reki dan akhirnya ditahan beberapa hari. Selain itu dia juga dipanggil pengurus ikatan dalang.
"Saya dipanggil pengurus ikatan dalang. Padahal saya dari dulu senang mengkritisi," lanjut Sayoko yang pernah membantu kampanye beberapa partai politik usai reformasi ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sayoko mengaku sempat keluar masuk bui beberapa kali, pertama pada 1973, lalu 1975, dan terakhir 1976. Kala itu penahanannya hanya beberapa hari.
"Menang hanya beberapa hari ditahannya. Pernah juga semua kepala desa se-kabupaten tidak boleh atau dilarang mengundang saya pentas wayang oleh bupati," lanjut Sayoko.
Diskriminasi yang diterimanya selama orde baru, tidak mempengaruhi finansial Suyoko. Baginya mendalang bukan cuma soal ekonomi tapi motivasi.
"Saya masalah ekonomi tidak berkaitan ekonomi. Saya mendalang punya motivasi, bukan sekadar ekonomi tapi untuk mencerdaskan penonton tentang budi pekerti, kejiwaan dan kemanusiaan," kata bapak tiga anak ini.
Sayoko menyebut meski kerap mengkritik pemerintah, tetap ada masyarakat yang suka dengan seni pedalangan yang dia bawakan. Hanya saja label sebagai dalang kritis membuatnya tidak pernah ditanggap oleh lembaga pemerintahan hingga saat ini.
"Sampai sekarang pun masih tidak suka sama saya para penguasa itu. Meskipun reformasi, moral dan mental manusianya kan tidak tersentuh, kritis itu suara batin jadi selama saya masih hidup akan terus kritis," imbuh Sayoko.
Sayoko pun mengaku prihatin dengan orang yang masih memelihara dendam politik. Padahal menurutnya, untuk memajukan Indonesia saat ini butuh kerja sama semua pihak.
"Kalau saya begini, misalnya si A melawan B, setelah B kalah ya sudah, selesai ya selesai. Setelah itu ya mari sama-sama membangun bangsa," pungkas Sayoko.
(ams/mbr)