Solo -
Nama pendiri Batik Danar Hadi, Santosa Doellah, yang wafat pada kemarin petang tak akan bisa dilepaskan dari perbatikan nusantara. Siapa sangka pria kelahiran Solo, 7 Desember 1941 itu bisa membangun perusahaan batik raksasa di masa mudanya.
Santosa Doellah merupakan anak dari seorang dokter, yaitu dr Doellah dan pasangannya, Fatimah Wongsodinomo. Darah pembatik tampaknya muncul dari sang ibu yang merupakan keluarga saudagar batik.
Santosa kecil sudah ditinggal ibundanya yang wafat. Dia pun lebih banyak dibesarkan oleh kakeknya, Raden Wongsodinomo, saudagar batik Laweyan terpandang di Solo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tumbuh besar di kalangan pembatik, Santosa pun tak bisa lepas dengan bisnis batik. Bahkan selama kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Santosa juga terus berjualan batik.
Tahun 1967, dia menikahi Danarsih Hadiprijono yang masih berkerabat dengannya. Danarsih lahir dari keluarga pembatik yang berasal dari Kauman, Solo, yakni Soemarti dan Soemardi Hadiprijono.
"Eyang Pak Santosa saat itu menghadiahi cucunya yang baru saja menikah. Beliau menerima 29 bal kain mori dan 174 kain batik yang sudah jadi untuk modal usaha," kata Asisten Manajer Museum Batik Danar Hadi, Asti Suryo Astuti, saat dihubungi detikcom, Selasa (3/8/2021).
Kisah di Balik Nama Danar Hadi
Santosa lalu merintis usaha pembuatan batik gaya Solo untuk kalangan kelas menengah-atas. Dia memilih merek dagang Danar Hadi yang diambil dari nama istrinya, Danarsih Hadiprijono. Mereka mengawali usaha dengan 20 orang pembatik tradisional.
"Saat itu sebetulnya situasi bisnis batik baru merangkak kembali setelah peristiwa 1965. Tapi beberapa tahun berjalan, terbukti usaha Danar Hadi berkembang hingga memperkerjakan 1.000 pekerja," ujar dia.
Usaha Danar Hadi pun meluas hingga membuka pabrik kain mori. Dengan demikian, mereka tak lagi bergantung dengan pabrik kain lain.
Selanjutnya: gelar empu hingga diangkat sebagai pangeran...
Hingga 1973, Danar Hadi masih menitipkan produknya ke toko-toko lain. Kemudian Santosa Doellah dan Danarsih membuka toko pertamanya di Jalan dr Radjiman No 164, Solo.
"Tahun 1975, Danar Hadi membuka toko di Jakarta. Dari situlah batik ini menyesuaikan selera pasar Jakarta yang sangat berbeda dengan Solo," kata Asti.
Pasangan ini terus melebarkan sayap bisnisnya dengan mengikuti sejumlah peragaan busana. Bahkan mereka belajar ke Paris untuk bisa merambah ke pasar internasional.
Santosa Doellah kemudian membeli Ndalem Wuryoningratan yang berada di pusat Kota Solo, yakni di Jalan Slamet Riyadi. Bangunan ini semula milik kerabat dekat Keraton Surakarta. Tak hanya untuk toko batik, bangunan yang berdiri sejak zaman Belanda itu juga dipakai sebagai museum hingga restoran.
Karena kemampuannya membatik, Santosa diangkat sebagai empu di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Dia dikukuhkan sebagai empu karena memiliki karya, kepakaran, reputasi, kemampuan manajemen, memiliki sarana dan prasarana, serta kemauan menjadi pendidik.
Tak cuma itu, Santosa Doellah juga diangkat menjadi sentanadalem (kerabat) Keraton Surakarta. Atas pengabdiannya yang terus menerus terhadap tradisi batik dan sumbangsihnya kepada kelangsungan kehidupan keraton, dia mendapat gelar bangsawan dengan nama lengkap Kanjeng Pangeran (KP) Santosa Doellah Hadikusumo.
Seiring waktu, Santosa Doellah pun aktif di berbagai organisasi, baik sosial maupun bisnis. Dia dianggap sebagai sesepuh oleh rekan-rekannya sesama pengusaha.
"Beliau itu penasihat di Kadin, mentor, sesepuh, empu. Petuah-petuahnya luar biasa, memotivasi dan nguwongke. Kalau menegur ya menegur beneran, sehingga tahu harus bagaimana," kata Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Solo, Gareng S Haryanto.
Santosa Doellah telah mengembuskan napas terakhir pada usia 80 tahun setelah terpapar COVID-19, Senin (2/8) petang. Jenazahnya dimakamkan dengan protokol kesehatan di TPU Pracimalaya, hari ini.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini