Polisi membongkar distribusi alat rapid test ilegal di Jawa Tengah (Jateng), dan menangkap seorang tersangka berinisial SPM (34). Polisi menyebut masih ada kemungkinan untuk tersangka lain.
"Untuk penetapan tersangka lain kemungkinan ada," kata Kasubdit I Indagsi Ditreskrimsus Polda Jateng AKBP Asep Mauludin di Mapolda Jateng, Semarang, Kamis (6/5/2021).
Asep menyebut tak ada masalah terkait kedatangan alat tersebut dari China ke Indonesia. Hanya saja yang menjadi persoalan alat tes rapid antigen ilegal itu tidak ada izin edar di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Alat kesehatan yang impor harus punya izin edar namanya AKL, dari Kementerian Kesehatan. Setelah dilakukan uji coba terkait fungsi alat ini maka akan dikeluarkan izin edarnya. Baru dipasarkan ke masyarakat," terang Asep.
Dia menerangkan SPM merupakan sales dan distributor di area Jateng. Dia memiliki atasan yang berdomisili di Jakarta. Hal inilah yang membuka kemungkinan ada penambahan tersangka.
"Domisili di Jakarta. Tersangka dibantu oleh kurir orang yang diperbantukan yang jadi saksi dalam kasus ini," jelas Asep.
Untuk diketahui, SPM menjual alat itu melalui online dengan menawarkan barang yang sudah berizin. Ketika bertemu dengan konsumen, ia menawarkan alat yang lebih murah dan ternyata ilegal.
"Modus yang dilakukan tersangka dalam menawarkan barang ini ditawarkan melalui online. Jadi yang bersangkutan menawarkan, dia memiliki alat kesehatan rapid test yang memiliki izin edar, maka konsumen tertarik membeli barang dari tersangka," jelas Asep.
"Dalam pelaksanaannya, selain menawarkan (alat rapid test antigen) yang sudah memiliki izin edar, dia juga bawa barang lain sejenis yang tidak memiliki izin edar. Pembeli tidak mengetahui barang yang ditawarkan tersangka ternyata tidak memiliki izin edar," sambungnya.
Kasus ini pun terungkap dari konsumen yang protes karena alat tes antigen ini tidak akurat.
Pelaku dijerat pasal 197 UU RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagaimana diubah dalam pasal 60 angka 10 UU Cipta Kerja dengan ancaman 15 tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar. Kemudian untuk UU Perlindungan Konsumen, dia dijerat dengan pasal 62 ayat 1 dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar.
(ams/rih)