Masjid Baitussalam atau Masjid Saka Tunggal di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah menyimpan legenda terkait santri yang dikutuk menjadi monyet. Seperti apa kisahnya?
Masjid ini terletak di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kebupaten Banyumas, atau sekitar 30 kilometer arah barat Kota Purwokerto. Bangunannya berdiri di sebuah lembah yang dilingkupi pepohonan membuat masjid yang termasuk dalam cagar budaya ini terasa asri.
Saat berada di dalam masjid yang konon berusia ratusan tahun itu, keheningan, dan kedamaian terasa semakin lengkap. Tembok yang terbuat dari anyaman bambu bermotif wajik melapisi bagian interior masjid berukuran 15x17 meter itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tepat di tengah ruangan masjid terdapat sebuah saka atau tiang penyangga berukuran 40x40 sentimeter dengan tinggi sekitar 5 meter. Saka tersebut membuat masjid tegak berdiri menyangga langit-langit atau wuwungan masjid. Tiangnya yang berwarna hijau dipenuhi ukiran bunga dan tanaman serta dilindungi oleh kaca.
Selain suasananya yang asri, ada beberapa monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang berada di sekitar masjid ini. Monyet-monyet itu dipercaya sebagai jelmaan para santri yang dulunya dikutuk oleh Kiai Saka Tunggal.
"Legenda dulu, santri Kiai Saka Tunggal kategori nakal. Emosi, kiai akhirnya mengutuk santri menjadi monyet, seperti tipikal monyet yang susah diatur, sering ganggu, dan suka mencuri," ujar Imam Masjid Saka Tunggal yang juga merupakan seorang dari tiga juru kunci Masjid Saka Tunggal, Sulam (50) saat ditemui beberapa waktu lalu.
Monyet-monyet ekor panjang di sekeliling masjid ini hidup liar berdampingan dengan masyarakat sekitar. Sulam mengungkap masjid tersebut didirikan pada tahun 1522 oleh Kiai Toleh atau Mbah Mustolih. Kiai Toleh merupakan tokoh penyebar agama Islam di tempat tersebut.
Meski demikian tidak ada bukti tertulis terkait berdirinya Masjid Saka Tunggal ini. Sejarah hingga legenda masjid ini bisa diperoleh secara turun temurun dan peninggalan fisik masjid beserta isinya.
Meski begitu, masjid ini dipercaya masyarakat sebagai yang tertua di Indonesia, dan memiliki peran penting dalam mengawali syiar Islam, khususnya di wilayah Kabupaten Banyumas.
"Berdasarkan penuturan leluhur orang tua secara turun temurun, disampaikan bahwa Masjid Saka Tunggal didirikan sebelum Masjid Demak. Didirikan mungkin di masa Majapahit," kata Sulam.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya...
Tonton juga Video: Histori Masjid Jami Darussalam yang Konon Berusia 600 Tahun
Nama Saka Tunggal untuk masjid ini, kata Sulam merupakan pemberian dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyumas.
"Karena Saka Tunggal berdasarkan catatan yang ada masuk cagar budaya di 1989. Sebelum itu masih bernama Masjid Baitussalam di 1976, dan sebelum 1976 itu tanpa nama, tahunya masjid Cikakak saja," urainya.
Sulam menceritakan, saka tunggal itu digambarkan sebagai induk dari berdirinya masjid yang ditopang oleh saka-saka lebih kecil di sekelilingnya. Maknanya yakni bersatunya manusia dengan Sang Pencipta.
"Manusia menghormati Sang Pencipta dan Sang Pencipta menciptakan manusia untuk berbuat hal-hal yang baik," kata Sulam.
Selanjutnya tentang empat sayap kayu pada bagian ujung saka tunggal di masjid itu bermakna empat arah mata angin dan satu pusat.
"Maknanya kita itu hidup harus punya kiblat atau pedoman, yaitu Allah," jelasnya.
Menurut dia, empat arah itu juga melambangkan manusia yang terdiri dari unsur air, udara atau angin, api, dan tanah berserta dengan nafsu-nafsu yang menyertainya antara lain aluamah, mutmainah, supiah, dan amarah.
"Kita belajar nerima (menerima) atau mengendalikan sifat itu. Kendalikan juga sifat api (amarah). Angin yang menunjukkan kehalusan kita juga harus dikendalikan dan sifat air yang selalu mengalir ke tempat rendah artinya kita juga harus merendahkan hati," ujarnya.
Namun ternyata sudah banyak ornamen di masjid ini yang berubah. Yang tersisa dari bangunan aslinya yakni saka tunggal di tengah masjid tersebut.
"Untuk bangunan masjid sudah mengalami perubahan di 1976, untuk melihat ornamen originalnya, generasi sekarang tidak bisa melihatnya, karena kehilangan bentuk ornamen di 1976, yang masih utuh hanya saka tinggal," ujarnya.
Tak hanya soal bangunan, sejarah dan legendanya yang unik, jemaah masjid ini juga dikenal dengan karakternya dalam menentukan hari-hari besar Islam dengan menggunakan perhitungan Jawa, Alif Rebo Wage atau Islam Aboge.
Seperti pada Ramadhan kali, pengikut Aboge mulai menjalani puasa 1 Ramadhan 1442 Hijriah pada Rabu 14 April 2021 berbeda dengan yang ditetapkan pemerintah yakni pada Selasa (13/4). Hal tersebut berdasarkan perhitungan yang mereka percayai sejak ratusan tahun lalu berdasarkan penanggalan Jawa.
"Berdasarkan perhitungan, tahun sekarang adalah tahun Jim akhir, rumusnya jatuh pada hari pasaran Jumat Wage. Maka awal Ramadhan dihitung menggunakan rumus Donemro (Romadon Enem Loro). Ramadhan berarti jatuh di hari ke-6 dari Jumat dan pasaran ke-2 dari Wage sehingga awal Ramadhan pengikut Aboge tahun ini jatuh pada hari Rabu Kliwon, 14 April 2021," kata juru bicara Islam Aboge Banyumas, Susanto, lewat pesan singkat kepada detikcom, Selasa (13/4).