Seratusan siswa tidak mampu di SMK Pelita Bangsa Sumberlawang, Sragen, Jawa Tengah, disebut belum melunasi administrasi sekolah bahkan hingga bertahun-tahun setelah lulus. Berlangsung sejak tahun 2014, tunggakan kewajiban para siswa tidak mampu ini mencapai seratusan juta.
"Menurut catatan kami, sejak tahun 2014 hingga 2019 ada kewajiban sekitar Rp 174.445.000. Ini belum termasuk (lulusan) tahun 2020 karena dianggap masih bisa membayar," ujar Kepala Sekolah SMK Pelita Bangsa Sumberlawang, Andi Kusnanto, kepada detikcom, Jumat (19/3/2021).
Andi menyebut, dengan rataan tunggakan per anak sebesar Rp 1 juta rupiah, jumlah siswa yang masih belum menyelesaikan kewajibannya mencapai sekitar 174 siswa. Dana tersebut merupakan uang selama proses pendidikan yang belum dibayarkan bahkan hingga para siswa tersebut lulus sekolah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekitar 174 anak. Untuk data by name-nya kita ada. Jadi mayoritas adalah biaya selama proses pendidikan seperti uang SPP, uang ujian dan praktik," terangnya.
Andi mengatakan, pihaknya memang tidak pernah menagih kewajiban para siswa tersebut. Pasalnya, hal ini sudah menjadi kebijakan pihak sekolah untuk membantu para siswa tak mampu.
"Sekolah tidak pernah menagih. Karena mayoritas siswa yang masuk sekolah kami mayoritas tidak mampu secara ekonomi, makanya pihak sekolah memberikan keringanan. Pihak sekolah hanya bisa berdoa saja," terangnya.
Para siswa yang belum membayar uang tersebut, lanjutnya, hampir semuanya tidak mengambil ijazah pasca kelulusan. Meski begitu, pihak sekolah mengaku tidak pernah menahan ijazah ratusan siswa tersebut.
"Karena orang Jawa ya, mereka mungkin merasa pekewuh (tidak enak hati). Akhirnya banyak yang memilih menitipkan ijazahnya di sekolah. Sekolah tidak pernah menahan ijazah mereka, banyak yang ketika mereka butuh ijazah untuk bekerja, sekolah pasti memfasilitasi bahkan mengantarkan ijazah mereka," imbuhnya.
Andi menyebut, seiring berjalannya waktu, banyak siswa yang sudah mulai bisa memiliki penghasilan, mendatangi sekolah untuk membayar kewajiban mereka. Meski banyak juga yang hingga sekarang masih menunggak.
"Tahun 2017 jumlahnya masih sekitar Rp 250 juta. Kemudian banyak siswa yang sudah bekerja kemudian berinisiatif untuk membayar ke sekolah," kata dia.
Selanjutnya, tunggakan biaya disebut bisa mengancam kelangsungan sekolah...
Andi menerangkan, tunggakan biaya hingga seratusan juta tersebut sebenarnya tidak sampai mengancam kelangsungan sekolah. Hanya saja, menurutnya dana tersebut bisa digunakan untuk biaya pengembangan dan upgrading guru.
"Untuk operasional sekolah sebenarnya tidak terganggu. Hanya, dampaknya adalah tidak ada dana untuk pengembangan, penelitian, penulisan jurnal, maupun memberi support guru yang potensial untuk sekolah S-2 maupun S-3," urainya.
Padahal menurutnya, jika dana sebesar itu bisa dikembalikan, banyak manfaat yang bisa dipetik. Pihak sekolah sendiri akan mampu memperbaiki kualitas pendidik dan kualitas pendidikan.
"Kalau uang itu cair, sekolah bisa support gurunya, ada training, upgrade, mengirimkan anak untuk lomba, karena itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit," ungkapnya.
"Serta pihak sekolah bisa menyalurkan alumni yang berkemampuan khusus ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan disesuaikan 'back to basic' wilayah Sumberlawang dan sekitarnya yaitu pertanian, peternakan dan perikanan air tawar Waduk Kedungombo," imbuhnya.
Fenomena seperti ini, lanjut Andi, merupakan kondisi yang banyak terjadi di sekolah swasta. Pihaknya berharap ada bantuan dari Gubernur Ganjar Pranowo, mengingat domain SMA/SMK berada di Provinsi Jawa Tengah.
"Hal seperti ini banyak terjadi di sekolah terutama swasta. Kami harap ada bantuan dari Gubernur, mengingat domain SMK ada di provinsi. Apalagi siswa di sekolah kami berasal dari tiga kabupaten, yakni Sragen, Boyolali dan Grobogan," kata dia.