Di Jalan Palagan, Ngaglik, Sleman terdapat bangunan rumah mungil yang lokasinya nyempil alias diapit hotel mewah. Uniknya, rumah sederhana itu berada di tengah megahnya bangunan hotel bintang lima di Yogyakarta. Bagaimana kisahnya?
Kesan kontras ini mengingatkan pada satu adegan film animasi UP. Dimana di antara megahnya bangunan apartemen ada satu bangunan rumah tua yang nyempil.
Pemilik rumah itu bernama Tukidi (70). Sejak tahun 1985, dia dan istrinya, Lasiyem (60) menghuni rumah sederhana di Jalan Palagan, Kalurahan Sariharjo, Ngaglik, Sleman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini tanah warisan jadi tanah turun temurun, saya sudah di sini sejak 1985, sekarang tinggal bersama istri saya Lasiyem," kata Tukidi mengawali cerita saat ditemui di kediamannya, Rabu (3/3/2021).
Baca juga: Hujan Es Terjadi di Kota Yogyakarta |
Rumah milik Tukidi berada di atas tanah seluas 1.000 meter persegi. Letak rumahnya menjorok ke dalam sehingga tidak terlalu kelihatan dari jalan. Hanya papan nama warung dan plang bertuliskan 'Jual Kambing' saja yang menjadi penanda lokasi rumah itu. Sementara di sisi kanan, kiri, dan belakang rumah Tukidi berbatasan langsung dengan pagar Hotel Hyatt Regency.
Jauh sebelumnya, wilayah yang ia tempati merupakan tanah tadah hujan. Dia mengenang kala itu, dia hanya memiliki 5 tetangga saja waktu itu. Baru pada tahun 1992 saat ada perusahaan yang mau membangun hotel satu per satu tanah tetangganya dijual dan hanya tanah miliknya saja yang tersisa.
"Dulu ada yang mau bangun Hyatt butuh 25 hektare, tapi saya tidak tahu dapatnya berapa hektare yang sekarang. Kalau tanah saya ini luasnya 1.000 meter persegi. Kalau daerah ini dulunya tadah hujan," ungkapnya.
Rumah yang didiami oleh Tukidi bersama istrinya tak banyak berubah dari dulu. Masih berupa bangunan sederhana dengan beberapa kamar dan minim perabotan. Ruang tengah dan teras difungsikan sebagai warung makan tempat mereka berjualan.
"Dulu saya serabutan saja, lalu buka warung ini. Warungnya ini sudah ada sejak sebelum Hyatt dibangun," sebutnya.
Selanjutnya: Ingin mewariskan kepada anaknya
"Nggak (menyesal). Dulu itu cuma ditawar Rp 25 ribu per m2. Ya saya bisa dapat apa? Kalau saat ini kan harga tanah makin mahal," selorohnya.
Meski begitu, dia mengaku masih banyak orang yang masih mengincar tanahnya. Akan tetapi Tukidi bergeming. "Banyak yang tanya. Ada juga yang sudah pesan kalau mau dijual suruh menghubungi, tapi tidak (saya jual untuk saat ini)," katanya.
Tukidi pun berencana jika kelak meninggal, rumah beserta tanah itu akan dia wariskan untuk kedua anaknya. Begitu juga dengan keputusan apakah tanahnya akan dijual, dia serahkan kepada anaknya kelak.
"Kalau saya ya warisan saja, kalau sudah meninggal untuk anak-anak. Kalau dibagi sekarang malah dijual terus wong tuwa arep melu sapa (lalu orang tua mau tinggal di mana)," ungkapnya.
"Mungkin sekarang harganya kisaran puluhan juta. Ini pajak saja per tahun Rp 2,5 juta per tahun," tambah kakek yang sudah memiliki 4 cucu itu.
![]() |
Tukidi juga menjadi salah satu saksi sejarah pesatnya pembangunan di daerah itu. Dulunya, sepanjang Jalan Palagan hanya berupa kebun dan belum ada listrik. Hingga akhirnya satu per satu bangunan gudang, kampus, hotel dan apartemen menjamur di wilayah itu.
"Dulu di sini ya cuma bulak (lahan kosong). Pertama yang tumbuh pabrik rokok ini, lalu kampus, Hyatt setelah itu baru perumahan-perumahan mulai tumbuh. Jadi rame masyarakat bikin kos-kosan, orang-orang pendatang membaur," katanya.
Tukidi pun merasa perubahan yang terjadi begitu cepat. Namun, dengan perubahan yang begitu cepat itu ia memutuskan tetap bertahan di rumah sederhana miliknya.
"Padukuhan Sedan itu sepi, tahun 1990 itu hotel baru pembebasan tanah pembangunan hotel itu tahun 1995. Dengan perubahan seperti ini, kalau kemajuan zaman memang cepat. Kalau seperti saya ini ndak maju-maju. Zaman e majune cepet (kemajuan zaman yang cepat)," kenang Tukidi seraya tertawa.