Mengintip Sekolah Gratis Anak Pemulung-Pengamen di Bantaran Sungai Yogya

Mengintip Sekolah Gratis Anak Pemulung-Pengamen di Bantaran Sungai Yogya

Pradito Rida Pertana - detikNews
Senin, 19 Okt 2020 15:56 WIB
Sekolah Gajah Wong, Kota Yogyakarta, Senin (19/10/2020).
Sekolah Gajah Wong, Kota Yogyakarta, Senin (19/10/2020). Foto: Pradito Rida Pertana/detikcom
Yogyakarta -

Berawal dari keprihatinan tim advokasi arus bawah (Tabaah) terhadap pendidikan kaum miskin kota, Faiz Fakhruddin (40) dan rekan-rekannya, mendirikan Sekolah Gajah Wong. Sekolah yang berada di bantaran Sungai Gajah Wong, Kota Yogyakarta, ini diperuntukkan untuk anak-anak pemulung dan pengamen dengan biaya 0 rupiah alias gratis.

Faiz yang juga koordinator Sekolah Gajah Wong ini mengatakan, awal mula terbentuknya sekolah yang beralamatkan di Kampung Komunitas Ledok Timoho, Kelurahan Muja Muju, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta dari pertemuannya dengan Tabaah. Dari situ mereka memutuskan untuk mendirikan sekolah, karena sebelumnya mereka telah membuat sejumlah program dengan tujuan menyelesaikan masalah kaum miskin kota.

"Sampai akhirnya pada titik membuat Sekolah Gajah Wong ini pada tahun 2009. Kalau Sekolah Gajah Wong sendiri awalnya lebih kepada kita mencari solusi terkait dengan permasalahan masyarakat miskin kota yang menjadi permasalahan utamanya," kata Faiz saat ditemui di kampung Komunitas Ledok Timoho, Kota Yogyakarta, Senin (19/10/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kampung yang didominasi pemulung dan pengamen tersebut baru terbentuk tahun 2000. Seiring berjalannya waktu banyak anak-anak yang lahir di kampung tersebut.

"Jadi kampung ini belum lama, baru tahun 2000 dibuat dan seiring waktu kan banyak anak-anak (lahir). Tapi yang terjadi adalah setiap anak melakukan hal yang sama yang dilakukan ortunya. Kalau orang tua pemulung ikut memulung, orang tuanya pengamen ikut mengamen," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Oleh karena itu, untuk memecahkan masalah kemiskinan kaum miskin Kota Yogyakarta pihaknya mendirikan sekolah tersebut. Mengingat dengan memperkaya ilmu setidaknya dapat merubah kondisi ekonomi seseorang.

"Intine (intinya) kalau dewe (kita) itu kere, kaum miskin kota sudah takdir. Nah, karena itu yang harus selesaikan adalah anak-anak kita, jangan sampai anak-anak kita nasibnya sama dengan kita, solusinya apa? Solusinya ya sekolah," ucap Faiz.

"Apalagi sebagian besar dari kita tidak punya identitas, tidak ada KTP dan itu membuat anak-anak tidak ada akte dan tidak bisa sekolah, karena itu kita buat sekolah sendiri," kata pria kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah, ini.

Setelah mendirikan Sekolah Gajah Wong, dia bersama rekan-rekannya sempat mengalami kesulitan mengajak anak-anak jalanan untuk bersekolah. Namun Faiz tak putus asa dan mulai menjemput mereka satu per satu.

"Kalau awal-awal jelas perjuanganlah, kita sampai jemput satu-satu ke rumah, ke jalan dan saat itu sekolah masih sekolah berpindah-pindah karena menyesuaikan pesertanya," ujarnya.

Sekolah ini kemudian cukup diterima dan jadi solusi. Bahkan, saat ini kondisi sudah berbalik, di mana orang tua yang mendatangi pihaknya untuk mendaftarkan sekolah.

"Jadi kami ada empat kelas, dua kelas itu sebenarnya baru dua tahun ini. Jadi itu berawal di tahun 2013 kita mengadakan Festival Sekolah Gajah Wong, istilahnya meresmikanlah dan di tahun 2013 cukup stabil," katanya.

Keempat kelas itu adalah kelas akar untuk 3-5 tahun, kelas rumput untuk 5-7 tahun, kelas ranting untuk usia 7-10 dan kelas batang untuk usia 10-15 tahun. Saat ini sekolah tersebut telah memiliki puluhan murid.

"Untuk jumlah siswa saat ini ada 58 orang, itu dibagi empat ya. Jadi untuk kelas akar ada 12 (orang), rumput 14 anak, batang tujuh anak sisanya kelas ranting," katanya.

Sedangkan sistem pembelajaran, pihaknya saat ini menerapkan kunjungan guru ke rumah-rumah karena pandemi virus Corona atau COVID-19.

"Kalau pembelajaran normal Senin-Jumat. Semenjak pandemi ini kita lebih ke visit, tiga bulan awal datang ke rumah-rumah. Jadi seminggu itu anak-anak didatangi 2-3 kali oleh guru," ucapnya.

Terkait sistem pembelajaran di Sekolah Gajah Wong, pihaknya menerapkan kurikulum khusus. Di mana kurikulum itu 50 persen berdasarkan pada pembelajaran terhadap lingkungan dan sosial.

"Untuk metode pembelajaran kita memiliki kurikulum sendiri yang kita beri nama kurikulum Sekolah Gajah Wong. Jadi kita mengaduk-aduk banyak kurikulum hingga Islam terpadu, akhirnya setelah dipelajari lalu kita kelola dengan mengedepankan kelokalan, karena identik dengan kaum miskin kota," katanya.

Faiz dan rekan-rekannya, selaku pendiri Sekolah Gajah Wong, Kota Yogyakarta, Senin (19/10/2020).Faiz dan rekan-rekannya, selaku pendiri Sekolah Gajah Wong, Kota Yogyakarta, Senin (19/10/2020). Foto: Pradito Rida Pertana/detikcom

Secara rinci dia menjelaskan, kurikulum Sekolah Gajah Wong ini terdiri dari 50 persen pembelajaran lingkungan sosial dengan menggunakan metode tematik. Di mana anak-anak memilih tema, kemudian kegiatan berikutnya entry poin yakni kegiatan yang menyenangkan agar anak-anak semakin tertarik dengan tema yang dipilih.

Lalu dilanjutkan dengan webbing awal dan masuk proses, dalam proses itu ada area yang pertama, dalam pendekatan pendekatan area ada 8-10 area meliputi seni, persiapan membaca, lukis, komputer kemudian balok dan seterusnya.

"Sambil berjalan itu ada literasi, guru tamu sesuai tema kemudian ada trip. Jadi trip ke sesuatu tempat sesuai tema. Setelah itu berjalan anak-anak masuk ke proyek, proyek itu anak-anak membuat sesuatu yang idenya dipikirkan bareng dan memiliki kemanfaatan," katanya.

Menyoal biaya sekolah, Faiz menyebut tidak mematok biaya. Namun, orang tua murid wajib melaksanakan piket untuk mengganti biaya SPP.

"Kami tidak memungut biaya alias gratis. Tapi orang tua wajib piket, piket dalam artian membersihkan sekolah ini, jadi orang tua terlibat semua. Jadi dia harus terlibat, meski punya uang tetap tidak boleh diwakilkan karena piket itu seperti membayar SPP-nya," katanya.

Terkait soal biaya operasional Sekolah Gajah Wong, Faiz mengaku mendapat dana dari beberapa program warga tempat dia tinggal. "Kita punya enam program sebagai sumber dana, karena guru-guru itu kita gaji," ujarnya.

"Saat ini ada enam guru, 1 admin dan saya sebagai koordinator. Kalau dipetakan, misal dari sampah bisa gaji dua guru. Lalu dari media kampanye 2-3 guru dan dari peternakan bisa gaji 1-2 orang," lanjutnya.

Pertama adalah sampah untuk anak atau yang dikenal bank sampah. Di mana dia dan rekan-rekannya mencari orang yang mau mendonorkan sampah ke Sekolah Gajah Wong, kerja samanya dengan beberapa hotel, kampus hingga perorangan.

"Sampah yang didapat untuk memenuhi kebutuhan media pembelajaran di sekolah. Karena semua media pembelajaran di Gajah Wong menggunakan barang bekas atau sampah. Jadi semua bahan pembelajaran pakai barang bekas untuk memangkas biaya operasional," katanya.

Sekolah Gajah Wong, Kota Yogyakarta, Senin (19/10/2020).Sekolah Gajah Wong, Kota Yogyakarta, Senin (19/10/2020). Foto: Pradito Rida Pertana/detikcom

Kedua, pihaknya memiliki koperasi sembako. Konsep koperasi adalah warga belanja sekaligus dengan menabung.

"Jadi beras sekilo harga Rp 10 ribu, dari Rp 10 ribu itu ada keuntungan Rp 1.000. Nah yang Rp 1.000 dibagi 3, 40 persen untuk yang belanja, 30 persen untuk koperasi dan sekolah," katanya.

Ketiga, ada peternakan domba, pembibitan, fundraising bikin cendera mata yang dijual secara online dan offline. Namun, semenjak pandemi mereka membuat bazar pakaian dan alat tulis murah seminggu sekali, baik secara online dan offline. Biasanya, kata Faiz, bazar digelar di kampung-kampung masyarakat miskin. Sedangkan pakaian dan alat tulis berasal dari donasi masyarakat.

"Jual pakaian hingga alat tulis dengan harga murah. Semua untuk pemasukan sekolah. Tapi semenjak pandemi kita buka donasi ke masyarakat umum, animo bagus dan mereka mengirim pakaian ke sini," ujarnya.

Terlepas dari hal tersebut, dia menyebut jika murid lulusan Sekolah Gajah Wong tetap didorong untuk bersekolah secara formal. Lulusan Sekolah Gajah Wong kebanyakan sekolah di sekolah tumbuh.

"Lulusnya berdasarkan umur, dan anak kita dorong ke sekolah formal untuk melanjutkannya, seenggaknya sampai lulus SMA lah," ucapnya.

"Dan karena negeri sulit kita dorong ke swasta, kita punya kerja sama dengan Sekolah Tumbuh, MoU setiap tahun mereka menerima anak dari sini free sampai SMA sebanyak dua anak dan ini sudah berjalan sekitar enam tahun," tutur Faiz.

Halaman 4 dari 3
(rih/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads