Letusan Kawah Oro-oro Kesongo, Fakta dan Legenda Tragis di Baliknya

Terpopuler Sepekan

Letusan Kawah Oro-oro Kesongo, Fakta dan Legenda Tragis di Baliknya

Tim detikcom - detikNews
Minggu, 30 Agu 2020 16:38 WIB
Oro-oro Kesongo
Letusan kawah Oro-oro Kesongo, Blora. (Foto: Febrian Chandra/detikcom)
Blora -

Kawah Oro-oro Kesongo di Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Blora, Jawa Tengah, meletus pada Kamis (27/8). Sejumlah warga keracunan gas dan belasan hewan ternak terkubur. Berikut ini fakta dan mitos di balik kawah tersebut.

Di hari pertama kejadian, kawah ini meletus sebanyak tiga kali. Letusan pertama terjadi pada Kamis (27/8) pukul 05.30 WIB. Material yang dikeluarkan berupa lumpur dan gas. Suara pada letusan pertama setinggi 40 meter dengan dentuman keras hingga mendengingkan telinga.

"Pertama kali letusan terjadi sekitar pukul 05.30 WIB suara dentumannya sangat keras hingga mendengingkan telinga," Kata kata Kepala Desa Gabusan, Parsidi, saat dihubungi detikcom, Kamis (27/8).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat terjadi letusan pertama, terdapat aktivitas warga yang sedang menggembala hewan ternak di lokasi tersebut. Akibatnya empat orang mengalami keracunan akibat menghirup gas yang dikeluarkan dari letusan tersebut. Pada hari yang sama, kondisi para warga tersebut membaik.

Tidak hanya itu saja, belasan hewan ternak milik warga dinyatakan hilang tertimbun material letusan. Parsidi mengatakan, warga tidak mengetahui ada tanda-tanda lokasi tersebut akan meletus.

ADVERTISEMENT

"Totalnya ada 18 hewan ternak milik warga yang dilaporkan hilang tertimbun lumpur. Hanya satu yang ditemukan selamat, dan sekarang sudah diurus pemiliknya," lanjutnya.

"Tahu-tahu ada suara bergemuruh dari dalam tanah dan meletus," kata Parsidi.

Kepala cabang Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah wilayah Kendeng Selatan, Teguh Yudi Pristiyanto, menyampaikan hasil penelitian saat itu menyebutkan jika fenomena tersebut adalah gunung api lumpur atau mud volcanoes.

"Mud volcanoes merupakan sebuah fenomena ekstrusi cairan seperti hidrokarbon dan gas seperti methane," kata Teguh Yudi saat dihubungi detikcom, Kamis (27/8).

Teguh menyampaikan, saat ini letusan tersebut telah berhenti. Letusan sebelumnya terjadi pada tahun 2013 dengan titik letusannya sama yang terjadi hari Kamis kemarin.

Diwawancara terpisah, Kasi Geologi Mineral dan Batu Bara Cabang Dinas ESDM Wilayah Kendeng Selatan Budi Setywan menjelaskan dari letusan tersebut terpantau menyemburkan lumpur seluas sekitar 3 hektare dengan ketebalan lumpur setinggi 1 meter.

Budi menerangkan jika letupan-letupan yang terjadi merupakan proses pelepasan gas yang terjebak di dalam lumpur. Dia menyebut pusat letupan sejak kemarin hanya terjadi di satu titik.

"Di Kesongo itu sebenarnya kawasan muntahan lumpur itu luas, seluas 114 Ha. Namun kejadian kemarin hanya terjadi satu titik saja," katanya.

Budi menyebut kondisi saat ini belum bisa dikatakan aman. Sebab, dikhawatirkan bakal terjadi letupan kembali. Sehingga pihaknya berkoordinasi dengan kepolisian untuk mengamankan kawah tersebut.

Di sisi lain, fenomena meletusnya kawah Oro-oro Kesongo menyibak kisah legenda dan mitos di kawasan ini. Dari 9 orang sial yang ditelan ular, hingga 9 pengawal yang gugur.

Kepala Desa Gabusan Parsidi mengatakan, legenda cerita dongeng turun menurun yang disampaikan orang terdahulu, kawasan Kesongo itu awalnya menceritakan sembilan orang yang bernasib sial.

"Kala itu terdapat 10 orang orang yang kehujanan. Kesepuluh orang tersebut akhirnya memutuskan berteduh di dalam gua yang berwujud seperti mulut ular," kata Parsidi saat dihubungi detikcom, Kamis (27/8).

Parsidi menjelaskan, namun karena 1 orang memiliki penyakit kulit, sembilan orang sisanya menolak seorang yang memiliki penyakit kulit untuk masuk ke dalam gua. Sehingga satu orang tersebut dibiarkan kehujanan di luar gua.

"Satu orang tersebut tanpa sengaja memukul-mukul tembok gua dengan senjata tajam yang biasa digunakan untuk mencari makan hewan ternak," kisahnya.

Tanpa disadari ternyata gua tersebut merupakan jelmaan ular raksasa yang sedang bertapa. Dan akhirnya merasa terganggu, mulut ular langsung menutup. Secara otomatis sembilan orang yang berteduh di dalam mulut ular tadi tertelan. "Cerita legendanya seperti itu hingga dinamakan Kesongo," pungkasnya.

Namun jika dirunut dari sejarah, Pemerhati Sejarah Kabupaten Blora, Eko Arifianto (43) mengatakan, berdasarkan catatan buku babat Kanung, sejarah perjalan orang Jawa 230 SM-1292 M. Dahulu pada tahun 725 Masehi ada tokoh yang bijaksana. Ia berasal dari Medang Kamulaan, Teluk Lusi Blora.

"Masih garis keturunan Datsu Dewi Simaha. Pemuda tampan dan berkarisma tersebut bernama Hang Sanjaya," kata Eko.

Eko mengatakan, Sanjaya adalah anak dari pasangan Sanaha dan Saladu. Ia dilahirkan di Sucen, Doplang atau sekarang dikenal Kecamatan Jati, Blora, Jawa Tengah atau dahulu disebut Medang Pakuwon pada akhir abad ke-7 Masehi.

Pada waktu itu pamannya yakni bernama Sana baru saja diangkat menjadi datu di Galuh Kerajaan Tarumanegara. Namun tak selang berapa lama, Sana meninggal secara tiba-tiba.

"Sana meninggal dunia akibat diracun oleh konspirasi yang terjadi di istana Galuh karena perebutan kekuasaan," terangnya.

Pangeran dari Kerajaan Tarumanegara ini ingin merebut tahta dari tangan Sana, lalu ia dibantu istrinya berhasil meracun Sana.

Mayat Sana oleh para pengikutnya dibalsam agar tidak menimbulkan bau tidak sedap. Kemudian mayatnya dibawa pulang ke kampung halamannya di Sucen, Doplang, Medang Pakuwon, Blora.

"Ia diantar oleh sembilan orang pengawalnya dan seorang pekathik (pelayannya yang bertugas memelihara kuda)," imbuhnya.

Namun sesampai di Medang Pakuwon kakak perempuan Sana yang bernama Sanaha menjadi murka dan memerintahkan 9 orang pengawalnya dibunuh karena dianggap tidak mampu melindungi keselamatan adiknya.

Hanya satu orang yang dibiarkan tetap hidup yakni seorang pemelihara kuda yang dianggap orang kecil dan tidak tahu duduk perkaranya.

"Dari situ muncul kisah cerita tutur tentang Kesongo, yaitu matinya sembilan orang yang tragis dan dramatis," kata Eko.

Tempat 9 orang pembantu Sana dibunuh sekarang dinamakan Kesongo, yang sekarang oleh warga disebut Oro - Oro Kesongo, di Desa Gabus, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora. Tempat terbunuhnya 9 orang sekarang berupa hamparan dataran rendah dengan tanah berlumpur. Semburan lumpur bisa mencapai 3 meter.

"Di tempat itu ada tanah berlumpur yang sering menyemburkan lumpur yang disertai gas belerang yang menyebabkan banyak burung dan hewan mati karena keracunan," katanya.

Akibat semburan lumpur dengan bau gas belerang itu banyak hewan mati dan penduduk tidak perlu susah-susah berburu mencari makanan.

Eko mengatakan, Pada tahun 416 M, Keraton Medang Kamulyan di hilir sungai Lusi Blora sudah padat penduduknya. Sebagian penduduk berpindah ke arah Barat Daya menyusuri Sungai Lusi hingga mencapai hutan jati di wilayah Blora Selatan. Para pendatang membangun pemukiman baru. Wilayah tersebut diberi nama Pakuwuan atau Pakuwon dengan lokasi kedaton di Sucen.

Kedaton dipimpin oleh seorang perempuan bernama Sanaha. Sanaha adalah kakak perempuan Sana penguasa Galuh Kerajaan Tarumanegara yang merupakan garis keturunan Kandayun.

"Medang Pakuwon sekarang terletak di Desa Kesongo, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Sanaha menjadi jatuh di Medang Pakuan pada tahun 696 Masehi," tutupnya.

Halaman 2 dari 3
(sip/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads