Pakar transportasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Syafi'i, mengatakan opsi rel layang lebih baik dibandingkan solusi lain seperti manajemen rekayasa lalu lintas (MRLL) atau pembangunan flyover.
"Idealnya relnya yang naik. Tapi cost-nya besar. Pasti kan ramp-nya lebih panjang ketimbang flyover," kata Syafi'i saat dihubungi detikcom, Rabu (8/1/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dosen Fakultas Teknik itu juga menilai pembangunan flyover membutuhkan perencanaan yang lebih rigid. Selain karena banyak pembebasan lahan, desain flyover juga dinilai rumit.
"Di situ kan simpang tujuh, harus didesain sedemikian rupa. Flyover Manahan aja yang simpang tiga desainnya banyak jadi pro dan kontra," ujar dia.
Selain itu, jika dibangun flyover maka sepeda dan becak harus mencari jalan lain. Kendaraan berat pun akan sulit bermanuver di flyover.
"Regulasinya kan kalau sudah ada flyover maka perlintasan KA harus ditutup. Kalau yang dipilih flyover maka harus ada diskresi, perlintasan sebaiknya tetap difungsikan," ujar dia.
Dalam waktu dekat, kemacetan Kota Solo pun dipastikan semakin meningkat seiring dibangunnya flyover Purwosari. Meski jarak Purwosari dan Joglo cukup jauh, dia menilai pemerintah harus menyiapkan MRLL yang saling berintegrasi.
"Dengan adanya penutupan jalan di Purwosari dan kemacetan di Joglo, tentu masyarakat akan mencari jalan sendiri. Dan itu pasti akan muncul titik macet baru, pemerintah harus segera menyiapkan itu," ujarnya.
Salah satu wacana yang sudah muncul ialah membuka perlintasan KA di bawah flyover Manahan. Kendaraan kecil dapat memanfaatkan jalur tersebut.
"Kembali lagi ke regulasi, saya harap jangan kaku-kaku. Kalau bisa pakai diskresi akan lebih mudah," pungkasnya.
Tonton juga video Cewek Pemotor Ini Nyaris Masuk Tol, Langsung 'Disergap' Polisi:
(bai/mbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini