"Kalau ditanya apakah itu bisa (normalisasi dan naturalisasi diterapkan) bersamaan? Itu bisa," kata Nur dalam konferensi pers di kantor Humas dan Protokol UGM, Senin (6/1/2020).
"Seperti di Singapura itu kalau mungkin lihat, di sini naturalisasi di sampingnya dibuat terowongan untuk banjirnya, nggak ada masalah juga," sambungnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Usahanya gimana? Yang atas itu (hulu) dicegah lagi supaya (airnya) jangan cepat-cepat turun," sebutnya.
Sementara ketika tumpahan air dari hulu sudah mengalir ke hilir, kata Nur, maka yang harus dilakukan adalah mempercepat aliran airnya. Adapun untuk mempercepat aliran air di hilir dibutuhkan normalisasi terhadap sungai-sungai yang ada.
"Normalisasi itu dengan memberikan jalan (untuk air) yang cukup, berarti dengan ukuran yang cukup, banjir dari atas itu harus bisa jalan langsung (mengalir ke laut dengan) kecepatan tertentu. Nah tertentunya itu mesti juga tinggi," jelasnya.
"Makanya (kalau normalisasi) dinding-dinding beton atau perlindungan tebing dan sebagainya itu harus ada. Nah, kalau naturalisasi itu kan ke alami, berarti di situ sesungguhnya tidak kepengin (airnya) cepat, relatif lambat, bisa meresap," lanjutnya.
Sementara pakar teknik UGM lainnya, Ir Rachmat Jayadi, berpandangan bahwa konsep naturalisasi tidak tepat apabila diterapkan di Jakarta, karena Jakarta adalah kawasan hilir. Menurutnya naturalisasi lebih tepat apabila dilakukan di hulu.
"Kemarin juga mohon maaf, salah satu pimpinan yang di DKI mengatakan, memberikan contoh naturalisasi sukses di negara tetangga kita, di Singapura. Tetapi beliau lupa yang dilakukan itu bukan di hilir, kalau di hulu masih mungkin," terangnya.
"Karena di hulu belum ada persoalan kiriman air terakumulasi. Kalau (naturalisasi) di hilir itu sama saja membumpeti (menyumbat air). Kalau dinaturalisasi kan jadinya (aliran air) lebih pelan," sambung Rachmat. (ush/rih)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini