"Ada temuan yang menarik, memang Trans Jogja ini tidak ditarget setoran maupun poin, tapi mereka ditarget namanya headtime, jadi setiap jarak satu mobil (bus) dengan mobil (bus) lainnya itu ada headtime-nya," jelas Kepala ORI DIY Budhi Masthuri, Selasa (3/12/2019).
"Headtime itu sudah tiga tahun belum dievaluasi, sehingga bisa jadi kondisi tiga tahun lalu dengan sekarang sudah berbeda. Ada kemacetan dan sebagainya yang menyebabkan orang untuk mengejar headtime itu bisa jadi akan mengalami kesulitan, sehingga ngebut," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian ORI DIY menyoroti dualisme pengelolaan Trans Jogja antara PT AMI dan PT Jogja Tugu Trans (JTT). Kendati dalam pelaksanaannya kedua PT itu berbagi tugas, PT AMI bertindak sebagai pengelola dan PT JTT sebagai operator bus Trans Jogja.
"Jadi busnya pun ada busnya AMI, ada busnya JTT. Tapi dipastikan yang mengalami insiden kemarin busnya AMI, tapi ketika kita tanya misalkan headtime-nya (PT AMI dan JTT) sama nggak, beda ternyata headtime-nya," ungkap Budhi.
"AMI itu headtime-nya 12 menit, JTT headtime-nya delapan menit jarak antarbus. Nah, bagaimana bisa berbeda, itu yang kita telusuri lagi. Yang pasti kemudian headtime ini sudah lebih-kurang tiga tahunan belum dievaluasi," lanjutnya.
ORI DIY juga sedang mencari informasi apakah ada keterkaitan antara beban kerja para sopir bus Trans Jogja dengan kecelakaan maut yang terjadi beberapa waktu lalu. Sebab, lanjut Budhi, diduga minimnya waktu istirahat turut menjadi faktor sopir ngebut.
"Saya tidak tahu apakah memang ini karena beban kerja yang sedikit dirasa berat oleh driver atau tidak, tapi yang pasti ada kebutuhan driver untuk istirahat lebih lama, sehingga alasannya mengapa ngebut? Karena biar dapat nanti sisa waktu istirahat lebih lama," tuturnya.
"Rata-rata kalau (rute Bus Trans Jogja) jaraknya yang jarak dekat itu istirahatnya 10-15 menit saja di tiap terminalnya. Tapi yang jarak jauh 25-30 menit... Kalau kemudian lebih cepat, dia punya waktu lebih banyak untuk beristirahat di terminal," sebutnya.
Tak hanya itu, ORI DIY juga menyoroti belum tersedianya unit khusus pengaduan terhadap Trans Jogja. Memang telah ada nomor pengaduan yang tertera pada bus Trans Jogja, namun nomor pengaduan itu hanya dikelola oleh kepala pool.
"Jadi kalau selama ini ada nomor pengaduan, itu baru dikelola oleh kepala pool, jadi belum ada unit yang memang ditunjuk, diberi tugas, diberi kewenangan khusus mengelola pengaduan sampai mengambil langkah-langkah penindakan," paparnya.
Terakhir ORI DIY menyinggung mengenai tiadanya psikotes secara teratur yang dilakukan PT AMI kepada para sopir bus Trans Jogja. Padahal psikotes itu penting dilakukan untuk mengetahui kondisi psikologis sopir dari waktu ke waktu.
"Padahal situasi-situasi psikologis orang itu bisa berubah-ubah sangat cepat. Artinya mungkin ke depan perlu misalkan rutin psikotes, enam bulan sekali sopir menjalani psikotes itu, masih sesabar dulu nggak, masih sedisiplin dulu nggak," pungkas Budhi.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini