"Karena keputusan penting termasuk dalam bidang anggaran lebih mudah diambil, tanpa ada yang menguji. Selain itu fungsi pengawasan legislatif juga hanya akan sekadar drama saja, karena semua sudah bergabung dalam satu kekuasaan," ujar Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman kepada detikcom, Selasa (22/10/2019).
Menurut Zaenur, tidak seimbangnya kekuatan di dalam dan luar pemerintah berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi di berbagai lini. Di tambah lagi adanya upaya pelemahan secara sistemik terhadap lembaga antirasuah KPK oleh para elite politik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Zaenur menduga Presiden Jokowi telah mengetahui potensi korupsi yang diakibatkan kekuatan tanpa kontrol. Namun karena yang dikejar Jokowi hanyalah pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, akhirnya ia mengabaikan potensi itu.
"Jokowi tidak ingin dikontrol oposisi dan KPK, tujuannya stabilitas. Tetapi itu mengancam demokrasi dan potensial menyuburkan korupsi," tegasnya.
Dalam kondisi seperti itu, lanjut Zaenur, satu-satunya kekuatan kontrol pemerintah yang tersisa hanyalah rakyat. Namun perlawanan dari elemen sipil bukan berarti tanpa ancaman, sebab kekuatan sipil kerap direpresi melalui undang-undang ITE.
"Hanya rakyat kesempatan satu-satunya yang bisa melakukan kritik dan kontrol (terhadap pemerintahan). Itu pun direpresi misalnya melalui UU ITE," sebutnya.
Hitung-hitungan Menteri Ala Jokowi:
(ush/mbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini