Pada masa sebelum proses penutupan lokalisasi yang ada sejak 19 Agustus 1966 itu, perputaran uang di SK atau yang sebenarnya bernama Resosialisasi Argorejo ini mencapai Rp 1 miliar per malam.
"Perputaran uang semalam ya kalau Rp 1 miliar bisa, itu kotor, ya," kata pengelola Argorejo, Suwandi, kepada wartawan pada 22 Juni 2019.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum lagi ada warung sembako, warung makan, salon, butik, hingga minimarket di sana. Penutupan SK tentu saja berdampak pada mereka juga, sehingga dilakukan dengan hati-hati.
Salah seorang pengelola karaoke, Sukmawati, mengaku sejak isu penutupan SK bergulir setahun lalu, pendapatannya menurun. Ia masih bisa mencari nafkah dengan butik miliknya.
"Sekarang cari Rp 300 ribu itu susah sehari. Padahal kontrakan ini Rp 12 juta per bulan," kata Sukmawati, Kamis (9/10/2019).
"Ya makanya dengan usaha lain, butik ini berusaha untuk menutup kebutuhan," imbuhnya.
Terkait penutupan SK, Sukmawati mengaku sebetulnya tidak setuju. Ia belum tahu harus bagaimana nantinya, dan justru mengaku akan menjajakan diri ke jalanan.
"Ya melacurkan diri di ujung-ujung Kota Semarang mungkin," pungkasnya.
Penutupan yang semula dilakukan 15 Agustus 2019 mundur hingga akhirnya ditetapkan lagi pada 18 Oktober 2019. Itu pun nantinya dimulai dengan memulangkan para pekerja ke daerah masing-masing dengan fasilitas Pemkot atau biaya sendiri.
Untuk usaha karaoke, Pemkot masih memberikan izin untuk beroperasi sementara. Diwawancarai terpisah, Kasatpol PP Kota Semarang Fajar Purwoto menegaskan tidak bisa langsung serentak menutup usaha di sana.
"Karaoke tetap buka, sementara diizinkan. Kami tidak bisa langsung tebas," pungkas Fajar, Rabu (8/10).
Kegiatan di SK tidak melulu soal bisnis. Pekerja di sana juga mendapatkan pelatihan agar bisa segera mentas dari dunia malam. Bahkan siraman rohani, seperti pengajian, juga digelar di masjid yang berada di sebelah gedung pertemuan. (alg/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini