Direktur Reserse dan Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda Jateng Kombes Moh Hendra Suhartiono mengatakan Maryanto mem-posting ujaran kebencian tersebut pada 25 November 2018 lewat akun Facebook-nya bernama Maryanto Gerindra.
"Dia itu cuma ambil kutipan-kutipan yang ada di Facebook. Salah satunya seperti menuduh ayah Jokowi terlibat PKI dan lain-lain," kata Hendra beberapa waktu lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Awalnya caleg, tidak terpilih. Itu pengaduan November 2018. Ada kebijakan dari pusat yang menyangkut pidana diurus setelah pileg dan pilpres," jelas Hendra.
Kasubdit V Siber Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng AKBP Agung Prabowo menjelaskan Maryanto pada Desember 2018 sudah dipanggil untuk diperiksa tapi mangkir. Kemudian pemanggilan kembali dilakukan pada April 2019 tapi ia juga tidak datang.
"Dua kali dipanggil tidak hadir, Desember dan April. Ketiga maka dilakukan penindakan," kata Agung kepada detikcom di kantornya, Jalan Sukun Raya, Semarang, Rabu (29/5/2019).
Tidak disangka, pada 14 Mei 2019, saat Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jateng sedang ada kegiatan di Mapolda Jateng, Maryanto terlacak juga ada di Mapolda Jateng. Bahkan saat itu Kanit II Subdit V Siber Ditkrimsus Polda Jateng AKP Gunawan Wibisono, yang selesai salat Zuhur, melihat Maryanto juga berada di masjid. Penangkapan pun dilakukan.
"Penangkapan di masjid. Kebetulan pelaku di sana dan kami sedang ada giat di Mapolda Jateng," ujar Agung.
Posting-an yang dianggap menghina Presiden Joko Widodo itu di-posting pada November 2018. Ada tiga screenshot unggahan Maryanto, baik status maupun komentar, yang dijadikan barang bukti.
Salah satu posting-an Maryanto adalah gambar palu-arit dengan narasi, "Jokowi & PKI? Anak Widjiatno komandan OPR underbouw PKI 1965 pembantai ulama dan santri di giriroto pasca G 30S PKI ibu kandungnya Sulami aktivis Gerwani 1950, Sudjiatmi adalah ibu tiri, istri kedua Widjiatno pasca terpisah akibat semua anggota PKI diburu/ditumpas oleh TNI dipimpin oleh Soeharto pasca tragedi 30S PKI".
"Yang bersangkutan sudah mengakui posting-an itu dan mengakui itu akunnya," terang Agung.
Kini Maryanto mendekam di sel tahanan Mapolda Jateng untuk menunggu proses hukum lebih lanjut. Ia terancam hukuman penjara di atas 5 tahun dan denda Rp 1 miliar karena melanggar Pasal 28 ayat 2 UU No.19/2016 berikut perubahannya pada UU No.11/2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sementara itu, Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria menanggapi penangkapan Maryanto. Menurut Riza, pemerintah kurang kerjaan dengan melakukan penangkapan itu.
"Kita prihatin, kok politik hari ini kok pemerintah senang bener nangkep-nangkepin orang, kaya kurang kerjaan saja gitu lo. Banyak kerjaan lain, kok seneng banget nangkep-nangkepin orang," ujar Ahmad Riza Patria kepada wartawan, Rabu (29/5/2019).
"Sudah kaya Orde Lama saja, bentar-bentar nangkepin orang. Jadi dulu zaman Orde Lama kan ditangkep-tangkepin, dipenjara, Buya Hamka dipenjara. Ini cuma urusan omong begini-begitu saja dipenjara, ditangkepin," imbuhnya.
Riza pun meminta pemerintah dan aparat kepolisian bersikap adil. Sebab, menurut dia, selama ini banyak pihak yang menghina Prabowo tapi terbebas dari jeratan hukum.
"Nangkep orang itu kan dipelajari apa latar belakang, apa karakternya. Kan begitu. Jangan sembarangan, apalagi oposisi main tangkep-tangkepin saja. Itu yang menghina Prabowo segitu banyak nggak ada yang ditangkep tuh, malah dibebasin. Berapa banyak yang hina Pak Prabowo nggak ditangkep tuh, tapi yang hina Pak Jokowi ditangkep-tangkepin. Di mana keadilan," tutur Riza.
"Kita cuma meminta pemerintah bersikap adil, netral. Jangan oposisi ditangkepin, kalau teman koalisinya dibelain. Jangan semua ditangkepin, nggak ada habisnya. Sudah penjara aja overcapacity 300 persen lebih. Pemerintah nggak punya dana bangun penjara. Itu diurusin, jangan urusan politik saja diurusin. Politik itu urusan demokrasi," sambung dia.
(alg/bgs)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini