"Pelajaran agama jangan hanya untuk memenuhi ranah kognitif atau pengetahuan, tapi lebih kepada afektif, kepada moral, etika, rasa. Memang selama ini mungkin lebih kepada pengetahuan, otak diisi, tapi hati dibiarkan telantar," kata Buya, Senin (25/3/2019).
Hal itu disampaikan Buya seusai membuka pelatihan pengawas sekolah dalam mempromosikan toleransi dan multikulturalisme, di P4TK Matematika Kemendikbud, Jalan Kaliurang Km 6, Sleman, Senin (25/3/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kurikulum tak perlu diubah, implisit saja," ujarnya.
Menurut Buya, pendekatan hati bisa membendung paham intoleransi. Dia mencontohkan pelaku teror selama ini ada yang bisa diluruskan kembali dengan bahasa hati.
"Sebab yang saya ketahui teror yang sudah membunuh banyak orang itu, bisa didekati dengan bahasa hati, memang butuh kesabaran," ujarnya.
"Tugas guru, pengawas, kepala sekolah, kalau kita biarkan kelompok radikal atau kekerasan, bukan hanya merusak bangsa tapi juga membunuh masa depan mereka sendiri. Sikap-sikap yang tak toleran, sikap yang tidak suka Bhinneka Tunggal Ika, katakan pada mereka bahwa anda sedang menggali kuburan anda sendiri," kata Buya menambahkan.
Buya berpendapat bahwa paham intoleransi atau radikalisme tumbuh karena di awal kemunculannya kurang dibendung.
"Karena dulu kurang dibendung ya, muncul itu. Tapi saya rasa sekarang meski kesadaran agak terlambat tapi mudah-mudahan bisa diatasi," jelasnya.
"Disadarkan anak-anak, saya rasa tidak semata-mata dengan pendekatan keras, tapi pendekatan lebih lunak, dengan bahasa hati istilahnya," pungkasnya. (sip/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini